Semeru Rumah Abadi
Ini hari ketiga puluh sembilan aku mengintaimu: lelaki yang mulai tertekan dengan kehidupan di rumah dan pekerjaan yang menjemukan. Berapa kali pun kau mencoba mengakhiri hidup, sekeras apa pun kau berusaha menemui ajal, tetapi jika malaikat maut belum waktunya datang, semua akan sia-sia. Aku mencoba membisikkan sebagian tanda dari tugas pengintaianku. Sejak kau memutuskan naik gunung hingga hari ini, aku masih terus mengawasimu, dan sesungguhnya aku dekat dengan kepalamu.
***
“Aku, kenapa ada di sini? Bora mana? Tadi dia
bersamaku di sini. Kenapa dia tiba-tiba menghilang?” gumammu. Kau sedang
duduk sendirian di atas batu di ujung tebing gunung dengan segala bentuk
kebingunganmu.
Kamu
gamam
setelah melihat
ada mayat tertelungkup di bawah tebing, mengira bahwa korban tewas itu adalah
salah seorang pendaki dari rombongan yang datang berbarengan denganmu.
“Apakah yang di bawah sana adalah Bora?” Batinmu makin panik.
Kau putuskan turun mencari Bora dan berjalan menyusuri
jalan setapak yang tadinya kau lalui dengannya menuju Puncak Mahameru.
Tiba-tiba saja kalian terpisah di batu ini. Kau berjalan menuju
Kelik, lalu berencana berdiam di Kalimati.
Kau terus saja
berjalan dengan segala bentuk pikiranmu. “Sebenarnya
aku ketiduran berapa lama di batu itu? Sepertinya aku tersesat. Bora, kamu di
mana?” keluhmu.
Kau menyadari
hanya berputar di tempat yang sama,
seolah ada kekuatan yang
menahanmu di situ. Tak kau temui satu pun pendaki lain. Kau
tersesat, padahal sudah terbiasa dengan jalur ini.
Kau tersara
bara hingga akhirnya tubuhmu melemah.
Kau jatuh terduduk dengan kulit memucat.
Tampaknya kau kedinginan. Akhirnya, kau memutuskan kembali
naik ke batu besar sambil menunggu bantuan datang. Langkahmu terseok dengan
kondisi tubuh yang tak mungkin berjalan jauh.
Dulu, pada tahun 1969 (mungkin kamu belum lahir) seorang pendaki bernama Soe Hok Gie juga meregang nyawa di sini. Mungkin dia sama sepertimu, terlena oleh daya tarik Ranu Kumbolo, Ranu Pani, dan juga puncak Mahameru.
Tatapanmu mulai
menelisik 360 derajad putaran. Bagimu,
Gunung Semeru memang menjadi primadona para pendaki beserta keindahan dan aura
kemistisannya.
Dengan napas
tersengal, tiba-tiba saja kau merindukan Ranu Pani dan segera kembali turun. Padahal
sebelumnya, kau masih
sangat ingin menginjakkan kakimu di Kawah Jonggring Saloka bersama Bora. Kau
tahu tempat itu dilarang, tetapi tetap saja kalian
nekat.
Beruntung kau tak juga sampai di sana.
Beberapa puluh
menit menjelang senja, kau mulai mengalami halusinasi. Kau lihat ada banyak makhluk aneh
sedang lalu lalang. Ternyata lokasi di mana dirimu sedang duduk pasrah adalah
sebuah pemukiman. Kau semakin bingung dan tidak bisa membedakan apakah mereka
ini benar-benar terlihat atau hanya sekadar halusinasi semata. Dan bisa jadi,
malam ini aku menjadi bagian dari mereka yang telah kau lihat.
Kau paham bahwa
tubuhmu telah memberikan sinyal.
Mungkin kau telah mengalami hipotermia atau bahkan frosbite tingkat frostnip, salah satu komplikasi dari hipotermia. Pandangan matamu
mulai mengabur dan menghitam, lalu semuanya berubah menjadi gelap. Tak ada yang
dapat kau lakukan selain pasrah dalam kondisi sedingin ini. Lamat-lamat, kau dengar
bisikan lembut perempuan , “Pulanglah, jangan di sini. Jika tak juga pulang, kau akan menjadi bagian dari kami.”
Sedangkan aku, makin dekat dengan kepalamu.
***
Aku melihat Bora
cemas menatapmu. Dia
membawa tim SAR kembali ke lokasi.
Panggilan terakhir dengan ibumu membuatnya berpikir terlalu dalam. “Bora, bawa
Giri pulang. Dia bilang, dia tidak akan pulang sebelum menyatakan cinta kepadamu di puncak
Semeru. Bawa dia pulang, Nak. Firasat ibu
tak enak,” ucap ibumu kepada
gadis itu.
Sepanjang
perjalanan, dia
terus memikirkan kondisimu saat ini. Dia
marah besar. Menurutnya,
jika memang kondisi fisikmu beberapa hari sedang tidak bugar,
kau tak harus memaksakan naik hanya karena keinginan bodohmu itu.
Tanpa sadar, kau
menyambut kedatangannya dengan senyum bahagia. Bora terdiam sambil memandangi
wajahmu yang makin memucat. Pikirannya mulai kacau. Napasnya seolah tersekat di
kerongkongan. “Kenapa kondisinya ...?”
ucapnya lirih dengan suara tercekat sambil
menatapmu redup.
“Kau lama sekali
datang. Aku jalan terseok dan berputar-putar di tempat yang sama untuk
mencarimu. Aku kira kau hilang. Ternyata kau datang membawa tim SAR. Baguslah.
Ayo segera kita tolong seseorang yang meninggal di bawah sana.”
Bora sangat
terkejut mendengar celotehmu. Baginya kau seperti anak kecil. Tak biasanya kau bersikap begitu. Kau
tak tahu bahwa perasaannya bagaikan debu dan jelaga.
“Aku kira mayat
itu kamu karena kau tak ada di mana-mana. Aku panik, tahu! Syukurlah kau tak apa-apa. Mungkin dia salah
satu dari rombongan yang datang bersama kita.” Lagi-lagi, Bora hanya terdiam
mendengar ocehanmu.
“Kenapa kau
diam? Kau marah kepadaku?
Aku minta maaf, ya? Ayo ngobrol.” Bora masih tak mengacuhkan keberadaanmu. Kau
tak tahu bahwa hatinya menangis melihat kondisimu dan jenasah di bawah sana. Dia langsung tahu bahwa
lelaki yang sudah menjadi mayat di bawah sana adalah ...
“Pak, di bawah
sana ada seseorang yang terjatuh dan meninggal.”
Seketika mereka
langsung mengambil tindakan. Tim SAR sibuk mengambil jenasah, sedangkan Bora duduk termenung di sebelahmu.
“Kenapa kau tak
menggunakan peralatan yang sudah aku siapkan di ranselmu untuk mengatasi
hipotermiamu? Apa kepalamu minta aku toyor pakai tinjuku?” ucapnya lirih menahan
tangis sambil menatapmu.
“Tak sempat. Aku
panik mencarimu. Dan kenapa kau lama?”
“Di bawah sana
ada pendaki yang kecelakaan, jadi perjalananku terhambat. Maafkan aku.”
Kalian ngobrol
sampai jenasah itu berhasil dievakuasi.
Kau mengoceh banyak hal kepada Bora seperti
biasa. Dia hafal betul kau ini seperti apa. Dengan lancarnya, kau mengikuti
mereka turun,
meski kakimu sedang cedera.
Sesampainya di
pos awal, ambulans sudah disiapkan untuk mengantar jenasah pulang.
“Giri, aku
mengenal jenasah ini. Kamu ikut aku. Anterin aku. Duduklah di sebelahku. Jangan
jauh-jauh ya, Gi.”
“Kamu kangen?” tanyamu.
Bora tak
menjawab. Dia
duduk tertegun dan meneteskan air mata di sepanjang perjalanan. Kau terlihat cemburu.
“Apakah jenasah ini pacar Bora?” batinmu . Yang jelas, raut
wajah Bora terlihat hancur. Dan aku, tentu
saja masih mengikutimu.
***
Sirine ambulans
meraung-raung di sepanjang jalan. Kawalan escorters
menggagahi setiap celah keramaian
yang bisa mereka
tembus, menyibak keruwetan jalanan. Ketika
tiba di rumah duka, Bora langsung sibuk membantu keluarga
jenasah
yang akan dimandikan.
Kamu diam
mematung di depan rumah, tanpa berani masuk, apalagi membantu Bora. Kau
berdiri berjam-jam menatap ke dalam isi rumah. Tiga jam telah berlalu, Bora pun
keluar menemuimu.
“Kamu tak masuk? Lama tak
pulang karena sibuk berpetualang, tak pernah pulang sejak ada ibumu di rumah.
Ibu merindukanmu. Kamu tak sadar kalau kamu telah meninggal?”
Kau diam
tercekat.
“Masuklah. Hanya
aku yang bisa melihatmu.”
“Aku sungguh tak
suka berada di rumah ini. Aku membenci Ibu setelah puluhan tahun dia menelantarkan
aku. Tapi
aku
sudah memaafkannya
sekarang.” Bora terdiam mendengar jawabanmu. Matanya berkaca-kaca.
“Apa kamu
mencintaiku, Bo?” lanjutmu.
“Aku tak perlu
menjawabnya karena kau bukan Giri.”
“Aku Giri.”
“Bukan!”
“Aku Giri.”
“Bukan!” Bora
kesal.
Aku menyaksikan
sebuah perdebatan terakhir dari sepasang pemuda yang saling mencintai, tetapi telah terpisah
oleh jarak antardimensi: dunia
manusia dan dunia arwah.
“Baiklah, aku
akan pulang. Aku sudah rindu rumah impian itu. Aku akan tinggal bersama Gie di
sana. Seperti dirinya, aku ingin menyatu dengan Semeru. Tadinya aku ingin bunuh
diri dan melompat dari batu itu. Tapi kubatalkan karena aku mencintaimu. Aku
urungkan agar bisa melamarmu. Tapi ternyata, kekuatan Semeru lebih berkuasa
atas jiwaku. Aku terjatuh ketika berusaha duduk di atas batu itu,” pungkasmu
sambil memandang Bora.
Saat itu kau melihatku yang berdiri di belakang Bora. Akhirnya,
kau menyadari keberadaanku.
Bora
seakan
kehabisan
napas, menyaksikan kepergian sahabatnya sejak SMP. Kau pergi menembus kabut
malam yang dingin bersamaku. Perlahan, tubuhmu menghilang tanpa bekas. Aku
melihat tangis Bora mulai pecah. Isaknya
terdengar begitu pedih. Dia tak peduli dengan
tatapan pelayat. Dia
hanya ingin menangis sejadi-jadinya. Aku masih merasakannya, tapi kau tidak.
Kau mendingin.
“Aku tak pernah suka wajah-wajah beku yang tak
kukenal yang
sering muncul di hadapanku sejak aku kecil. Kata Ibu, itu Qarin[1] Giri,
bagaimana jika aku merindukanmu? Aku mencintaimu juga. Bagaimana kau sampai
terjatuh ke
dalam sana? Bagaimana bisa kau pergi tanpa tahu perasaanku yang sebenarnya? Bagaimana
bisa aku menyatakan perasaanku kepada
Qarinmu? Kamu sungguh jahat!” Aku masih mendengar
jeritan hati Bora.
Tangisannya tak
terhenti, seolah memanggil kembali jiwamu,
berharap kau memasuki tubuh pucat
yang akan segera dimandikan di dalam sana. Wajah jasad itu tersenyum
penuh maaf, meski sebagian tubuhnya memar dan patah tulang.
Tugasku mengintaimu selama empat puluh hari telah usai. Kini kamu telah bersamaku. Sesungguhnya kamu tidak pergi. Kamu hanya pulang ke rumah impian.
(Cerpen ini telah diterbitkan tahun 2021)
Komentar
Posting Komentar