Contoh Sudut Pandang / POV Campur Cerpen "Waktu yang Tepat tuk Berpisah dan Menghilang"
Waktu yang Tepat tuk Berpisah dan Menghilang
Oleh: Winda Listyani
Prolog
Ini kisahku ... ada banyak luka yang mendatangkan trauma. Tentang suamiku,
calon istri untuknya, dan cintaku yang terlanjur remuk. Dengan tanganku
sendiri, aku berencana menikahkan suami dengan wanita pilihannya.
***
Sore itu, di sebuah ruang kosong dan gelap. Tak ada siapapun kecuali Zahra.
Nampak ia sedang memegang gawainya dengan lunglai dan berlinang air mata.
Sebuah hujatan menyapu telinga yang menggetarkan isi hatinya.
“Jadi wanita goblok banget sih? Gue cowok, Za. Suka perempuan juga. Tapi
keputusanmu itu bego tahu ga? Pingin gue tabok aja laki loe,” ujar seorang
lelaki dengan suara berat dan serak.
“Tapi, Mas. Aku kan mau mati. Tak ada salahnya jika mengijinkan suami
menikah lagi. Toh wanita itu baik, sederhana, dan berbakti pada orang tua. Dia
tinggal berdua saja dengan ibunya yang sudah renta. Dia wanita baik. Dia ga
merebut suamiku dariku. Kasihan jika aku batalkan karena dia dah sayang banget
sama suamiku.”
“Duh, Zaaa ... kamu sekolah tinggi tapi otak ga dipake! Lha kamu sudah tahu
punya kanker malah gila nganter laki loe ke luar Jawa hanya demi nganterin laki
goblok nemuin selingkuhannya. Gue ga rela loe mati di jalan. Dan satu hal, loe
kata bukan pelakor tetep aja bagi gue mereka berdua selingkuhin loe.”
Suasana berubah menjadi hening....
***
Aku, wanita berusia 28 tahun yang mengidap penyakit kanker payudara stadium
awal. Masih awal dan mungkin masih ada harapan tuk sembuh. Tapi tidak dengan
pernikahanku. Aku menemaninya dari nol hingga ia mulai dapat pekerjaan mapan.
Meski tak lama, ia menjadi pengangguran lagi. Bekerja, lalu menganggur lagi.
Sehari-hari, segala kebutuhan kami didapat dari jerih payahku menjadi karyawati
di sebuah perusahaan swasta yang seharusnya gaji cukup untuk kehidupan kami
berdua. Tapi tidak karena kami terlalu banyak hutang.
Aku mencintainya, dan rela melakukan apa saja deminya. Hingga teman-temanku
pun makin geram dengan sikapku. Apa salahnya jika aku ingin melihat suamiku
bahagia di akhir hayatku? Harusnya hatiku sakit ketika ia bercerita tentang
wanita lain yang datang dalam hidupnya akibat telpon salah sambung dan berakhir
pada chat romantis. Harusnya hatiku ini juga remuk redam ketika mendengar
mereka bertelpon mesra di depanku. Berujung pada permohonan ijin untuk menikahi
wanita itu. Dan apa keputusanku? Setuju!
Dari Surabaya ke Bali. Naik motor. Dalam kondisi sedang sakit dan lemah.
Berdua saja. Tubuhku hanya dibungkus jaket tipis dan celana hitam lebar dengan
kerudung berjuntai mengikuti arah angin membelakangi tujuan kami. Seolah ia
berkata, “Kembalilah, jangan kau turuti niatmu.”
Sesampai di rumah Rani, nama wanita itu, dan Bu Rupiani, ibunya, aku
menahan nafas sejenak. Sesosok wanita sederhana yang manis dan ramah. Asli Banyuwangi
yang sepuluh tahun telah tinggal di Bali. Berlanjut sambutan ibunya dengan
sedikit tak ramah padaku. Aku memahami itu. Lalu, ku sampaikan tujuanku dan
suamiku menemui Rani namun atas permintaannya, pertemuan itu tanpa ibunya.
Ku sampaikan semua. Kalimat demi kalimat panjangku terlontar. Dan nyawa
dari banyak kalimat itu adalah,”Aku kesini mengantarkan suami untuk melamarmu.
Aku ingin kau menikah dengannya. Dan aku ikhlas.”
Tak ada maksud apa-apa saat itu. Sadar bahwa usiaku tak lama lagi dan
lelakiku harus bahagia tanpa aku. Sesakit apapun seorang wanita terluka, ia tak
akan pernah terfikir untuk pergi meninggalkan pasangannya. Ia hanya berharap
bahwa suatu hari nanti, lelakinya berubah dan sadar bahwa wanita yang paling
mencintainya dengan tulus ada di hadapannya. Bukan di seberang selat. Begitulah
aku. Terlalu mencintai seseorang yang tak mencintaiku. Ketulusan yang dibalas
sebuah pengkhianatan. Anehnya, meski aku terluka dalam, senyum lebar masih
sempat tersembul di wajahku.
Sepulang dari Bali, aku tak pernah bisa tidur lelap. Setiap hari hanya
mampu memejamkan mata antara dua hingga tiga jam dalam 24 jam. Bukan rasa nyeri
dan segala rasa tak enak dalam tubuhku namun karena sebuah ucapan. Ucapan
sahabatku, Santo, seorang sahabat berdarah Medan yang besar di Jakarta.
Mungkinkah aku bodoh? Bisa jadi. Dan dia benar.
Keesokan harinya, aku sedang bercakap ringan dengan suamiku yang berujung
pertengkaran hebat. Berawal saling tukar pemikiran, namun berbuah menjadi perdebatan
sengit. Aku hanya meminta pendapatnya tentang pernikahan kami dan bagaimana
nanti dengan rumah tangga barunya jika aku ada harapan tuk sembuh. Finally, berdasarkan perkembangan
percakapan kami, aku memintanya untuk memilih antara aku dan Rani.
Pertengkaranpun memanas.
“Mas, aku hanya bersikap realistis. Ternyata kau sejauh ini. Bahkan obrolan
kalian sudah seperti suami istri. Aku masih hidup mas. Aku belum mati. Bukankah
pernikahan resmi kalian berlangsung ketika aku sudah mati. Tak bisakah kau
menunggu aku sampai mati nanti? Tak bisakah kau membayangkan bagaimana perasaan
keluargaku? Ayah Ibu yang sudah sepuh mendengar anaknya dimadu ketika sedang
diambang kematian. Aku kanker Mas, bukan penyakit biasa. Kau lebih memilih
bercengkrama dengannya dibandingkan dengan memberiku semangat untuk hidup. Aku
juga manusia biasa. Mas pilih aku atau Rani?”
“Bagaimana aku bisa mengerti seorang istri pembohong sepertimu?!”
Seketika itu, Mas Tito menyeretku ke dalam kamar tidur seperti seseorang
yang sedang menyeret anjingnya yang setia untuk diberikan hukuman karena
majikan sedang marah. Dan tanpa sadar, Ibu sedang datang berkunjung ingin
mengabari bahwa Ayah sedang sakit ingin ketemu putrinya. Namun, Ibu justru
menyaksikan pertengkaran kami. Ia berusaha mendobrak pintu tapi tak bisa. Ingin
teriak minta tolong tetangga tapi bingung. Aku tahu bagaimana rasanya.
“Nak Tito, Zahra diapakan, Nak? Buka pintunya. Lepaskan Zahra. Buka
pintunya, Nak. Ayahnya sedang sakit ingin bertemu. Beberapa hari mimpi Zahra.
Buka, Nak.”
Namun teriakan Ibu tak digubris.
“Karena kau mengecewakanku, layani aku sekarang juga!”
Suara Ibu terus mengganggunya. Aku yang tak punya tenaga tak bisa melawan.
Mungkin karena berisik baginya, ia beranjak lalu membuka pintu dan mendorong
Ibu hingga jatuh dan berteriak,”Diam!”
Hatiku hancur berkeping-keping menyaksikan semua ini. Terlebih Ibu. Aku
yakin itu.
“Mas, aku baru melayanimu kemarin. Ini masih sakit. Sakit sekali.”
Ya Tuhan, ini sakit ... nyeri. Ya Allah sakit. Aku ingin teriak yang keras,
sakit ... sakit .... Aku ingin berteriak, tapi takut terdengar ibu. Bagaimana
ia bisa mendengar anak satu-satunya berteriak kesakitan di bawah lelaki yang
seharusnya menyayangi, menjaga dan melindungi dari rasa sakit apapun. Namun
justru dialah pencipta rasa sakit yang hebat dalam hidupku. Suaraku tercekat.
Sambil membayangkan Ibu di luar kamar sedang bersimpuh sambil menangis. Ingin
menolong tapi tak bisa apa-apa. Sebab Ibu yang paling tahu para tetangga
seperti apa. Ibuku yang sepuh hanya bisa bingung dan menangis. Tak ada yang
tahu betapa hancur hatinya. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa tuk menolongnya di luar sana.
Setelah semuanya terjadi, aku hanya memeluk Ibu tanpa air mata ... kosong
... lelah ... lemah.
***
Dengan sedikit tertatih dan terseok, aku berjalan dari angkutan umum menuju
sebuah gedung megah di hadapanku, sendirian. Gedung itu disebut Pengadilan
Agama.
Mas, aku di sini. Sedang mendaftarkan kasus pertama kita dan berharap yang
terakhir pula. Sakiti aku, aku bisa diam. Khianati aku, aku masih diam. Kau
apakan hidupku pun, aku masih bisa diam. Masih setia dengan cintaku. Sampai
saat ini aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi saat ini, cintaku
untuk kedua orang tuaku melebihimu.
Engkau yang menikahiku, mencintaiku setengah-setengah, tak menafkahi
beberapa bulan, dan yang telah meninggalkan jejak luka terdalam dalam hidupku,
tak ada apa-apanya dengan pengorbanan kedua orang tuaku. Engkau yang tak bisa
menghargai anak dengan orang tuanya, yang ingin kau jauhkan karena sering beda
pendapat dengan watak keras dan kakumu itu, telah menyebabkan semua ini terjadi.
Berbagai kekerasan yang kau beri, telah menumpuk? Cukup terakhir saja
menyaksikan ibuku yang senja menangis tersedu melebihiku. Sudah cukup!
Persidangan terus berjalan. Hingga beberapa kali dalam tiga bulan. Dan
bulan ke-empat diputuskan pengadilan kami resmi bercerai setelah aku
menunjukkan semua bukti yang memberatkannya. Aku berjuang sendiri, tanpa
pengacara. Tanpa siapapun. Hanya ditemani dua kerabat sebagai saksi, hanya
datang sekali dalam beberapa kali sidang. Keputusan itu menenangkan hatiku.
Aku hanya berusaha menjadi seseorang yang selalu bisa tersenyum untuk dia
yang kucintai. Seorang yang kuat berhati batu demi kebahagiaan dia yang kukasihi. Namun aku hanya manusia biasa yang bisa kecewa. Berdarah ketika
tergores. Terluka ketika tersakiti. Dan sakit ketika terjatuh. Aku tak sekuat
yang kau kira. Namun aku pun tak serapuh yang kau kira. Setidaknya aku pergi,
tanpa meninggalkan tangis dan air mata untuk Ibu dan Ayah.
Mas Tito, kau dulu pernah baik, pernah mencintaiku. Entah seberapa tulus.
Kau hanya lupa darimana kita berawal dan buta akan godaan yang pasti menggoda.
Setelah denganku, berubahlah. Hingga detik ini, kau masih memusuhi orang tuaku.
Padahal pemikiranmu itu belum tentu benar.
Aku yang sampai detik terakhir masih mencintai dan menghargai kedua orang
tuamu, menyayangi mereka seperti menyayangi kedua orang tuaku sendiri. Bahkan sering
dimintai tolong ketiga adikmu tanpa merasa direpotkan sama sekali. Aku masih
mencintaimu. Kalimat ini akan ku ulang berkali-kali tanpa letih. Hingga aku
sadar, mencintamu itu sakit. Aku pergi, Mas.
***
Dalam kesendiriannya, Zahra jatuh pingsan. Pikirannya terlalu berat.
Terpecah kemana-mana. Sang ayah meninggal dalam perjalanan proses
perceraiannya. Sang ibu hanya menangis tanpa henti. Kehilangan seorang ayah dan
bercerai itu amat membuatnya benar-benar down. Sedangkan siapapun tak ada yang
tahu bahwa ia tengah mengidap kanker kecuali suami yang seharusnya
memberikannya semangat hidup. Mendampinginya hingga nafas terakhirnya. Namun,
harapan itu pupus. Gugur bersama usia yang bisa jadi hanya menghitung hari.
Tak ada yang memahami perasaannya. Setiap membuka mata di pagi hari, ia
merasakan waktu terus berkurang dan menipis. Ia terus menghitung sisa usianya.
Menghadapi suami yang menyiksa batinnya sendirian dengan tetap merias tiap
gurat wajahnya dengan senyuman. Hingga akhirnya ia bercerai dan ditinggalkan
sang ayah untuk selamanya. Rasa sakit yang menguasai tubuhnya, tak seberapa
dibandingkan dengan sakit yang mendera hatinya. Padahal saat ini, tak hanya
kanker payudara, melainkan kista indung telur dan myom di rahimnya. Ia tak mau operasi, tak mau sembuh, dan tak berusaha tuk tetap memperpanjang usianya. Asa telah putus, telah pupus. Hilanglah harapan hidupnya.
Ia makin lemah dan seolah sedang terjatuh dalam lubang hitam yang dalam.
Terus terjatuh mengikuti tarikan bumi dengan pandangan makin gelap dan pekat.
Tak ada tenaga. Matanya terpejam sambil sanubarinya dibanjiri air mata yang
membalut dan membungkus hati yang makin memucat. Di saat itulah, ia melihat
wajah seorang wanita tua yang sedang menangis memanggil-manggil
namanya,”Zahra...”
“Ibu ... Ini saat yang tepat untukku pergi dan menghilang. Jika Allah
menghendaki kita masih bersama, berdua, kita akan berjumpa lagi. Setelah hari
ini. Zahra sayang ibu....”
Quote:
Jika kau
mencintai, tentu tak kan rela melihat wajah wanitamu berbalur hujan air mata
karena cinta yang membunuh darimu. Dan jika cintamu tulus, pasti hatimu tak kan
membiarkan dia pergi dan menghilang bersama kenangan indah yang telah menjadi
abu akibat keegoisanmu.
~ Zahra ~
Ceritanya dotulis dengan keren dan menyentuh hati. Mengginakan POV Campuran, lumayan paham
BalasHapusTerima kasih. Semoga membantu 🥰
Hapus