Tips Menulis Puisi dari Eyang Sapardi Damono
Assalamu’alaikum.
Bagaimana kabar sahabat blogger hari ini? Semoga sehat selalu dan penuh berkah.
Aamiin.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan tentang TIPS MENULIS PUISI DARI PARA PENYAIR BESAR. Karena
saya berkiblat kepada beberapa saja dari penulis-penulis besar, maka saya akan
mengulas sedikit berdasarkan kaca mata penulis berikuti:
1. Yang pertama, dari penulis faforit saya Almarhum Eyang
Sapardi.
Nama lengkap beliau adalah Sapardi Djoko Damono yang akrab disebut Eyang Sapardi,
mengatakan bahwa menulis puisi sebetulnya mudah. Namun, ada beberapa tips
menulis yang dapat dijadikan referensi:
a. Buatlah Jeda
Menurut
eyang, seorang penulis
tidak boleh terlibat secara emosional dengan apa yang akan ditulis. Maka,
ketika hendak menulis sajak, kita harus memberi jeda/jarak.
Ketika
penulis dalam kondisi sedang marah, sebaiknya diberikan jeda dulu. Jika amarah
itu telah berlalu, maka puisi dapat dilanjutkan lagi. Karena menurut eyang,
kondisi emosional penulis mampu mempengaruhi isi puisi yang ditulis. Sedangkan
di dalam puisi terkadang memiliki jiwa dari sang penulisnya.
Namun, eyang mengaku, ada satu sajak yang
dilanggarnya. Yaitu ketika beliau sedang
menulis sajak tentang MARSINAH yang begitu panjang. Tak tanggung-tanggung. Satu puisi ini ditulis dalam kurun waktu
tiga tahun. Hal ini dikarenakan, eyang menulisnya dalam kondisi marah. Ketika melanjutkan, marah
lagi. Berhenti. Melanjutkan lagi, ternyata marah lagi. Berhenti. Hingga
akhirnya sajak yang dibuat tahun 1996 itu rampung dikerjakan tahun 1998.
Bahkan, sampai sekarang pun ia merasa sajak itu perlu direvisi karena masih ada
marah dalam peristiwa itu.
Sama halnya ketika suasana hati sedang jatuh cinta.
Puisi yang dibuat pasti akan cengeng. Karena itu, membuat jeda/jarak dengan
peristiwa sangat penting.
Dengan gaya guyonan, Sapardi mengatakan, “Kalau
kondisi sedang marah sajak akan dipenuhi pentungan (tanda seru-red). Kalau
sedang jatuh cinta banget akan banyak titik-titiknya. Bagaimana bacanya?”
Dalam hal
ini, apapun kondisi emosional penulis, bahagia ataukah sedang marah, menurut
eyang harus diberikan jeda. Jeda ini dapat difungsikan untuk menetralkan
perasaan ketika sedang menulis puisi.
Bahkan
dalam kondisi sedihpun, sebaiknya kita hanya memperhatikan perasaan itu hanya
lewat. Ketika perasaan telah kembali netral, maka penulis bisa melanjutkan
menulis. Sebetulnya tidak hanya dalam kondisi marah, sedih, dan jatuh cinta
saja. Perasaan yang sedang baper, halu dan sedang bucin (istilah-istilah anak jaman
now), sebaiknya perasaan kita dinetralkan dulu, baru menulis memulai menulis
kembali.
b. Sajak Ada di Sekitar Kita
Terkadang,
untuk dapat menciptakan atau menulis sebuah puisi, penulis lebih memilih untuk
menyendiri, melamun atau berandai-andai. Padahal
hal tersebut bahkan
justru mempersulit penulis sendiri.
Eyang memberikan contoh. Ada satu karyanya
berjudul “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” yang karena begitu
sederhananya, justru masuk dalam antologi puisi dunia bersama satu karya dari
Rendra. Berikut puisinya:
Berjalan ke Barat di
Waktu Pagi Hari
Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di
belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di
depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang
telah menciptakan bayang-bayang.
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa diantara kami
yang harus berjalan di depan.
Eyang
sendiri kurang mengerti mengapa sajak itu bisa begitu dihargai hingga telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa serta
dapat masuk dalam antologi yang mencatat karya sastra top dunia dari berbagai
periode. Dari sajak-sajak yang dibuat Eyang Sapardi, sajak inilah yang paling
disukai dan dihapalnya.
c.
Jangan Meniru Karya Sendiri
Kalau
membaca poin ini, pasti bertanya-tanya. Kok jangan meniru karya sendiri? Ya, kejahatan paling sadis menurut Eyang Sapardi
adalah selalu meniru karyanya sendiri. Bisa pula berakibat fatal.
Akibatnya, tidak sedikit sastrawan yang selalu berputar di wilayah yang itu-itu
saja.
Kalau orang mengenalnya sebagai penulis
puisi cinta, menurut eyang itu keliru besar. Sebab, selama ini banyak sekali
tema yang ditulisnya di luar topik percintaan. Seperti keresahan sosial, masa
kecil, keluarga, kritik kepada penguasa, dan sebagainya.
Agar kreativitas tidak terhenti dan
terus mengalir, Sapardi selalu membaca apa saja. Karena dengan membaca, wawasan
menjadi terbuka. Perbendaharaan kata menjadi kaya.
“Puisi itu sebenarnya menipumu.
Seperti pesulap, kalian digiring melalui kata-kata menuju makna tertentu,” kata
Eyang Sapardi.
Itulah tips menurut Eyang
Sapardi. Bisa jadi, para pembaca tidak sependapat. Atau justru memiliki
pemahaman yang sama dengan beliau. Seperti saya, penulis, yang sejak lama
mengagumi karya-karya puisi beliau. Namun semua tergantung siapa penulis besar
yang menjadi kiblat masing-masing Penulis. Karena setiap penulis memiliki cara
yang unik dan berbeda dalam mencari ide atau inspirasi dalam menulis puisi.
Tetap semangat berkarya. Insya Allah, di kesempatan selanjutnya akan kami
sampaikan tips-tips lain yang berkenaan dengan kepenulisan.
Beberapa rekomendasi penulis
yang karya-karyanya harus dibaca untuk bisa menulis puisi yang bagus, yang kebetulan juga menjadi faforit saya:
1. Chairil Anwar, penyair legendaris Indonesia
2. Rendra, jagonya puisi-puisi sosial
3. Taufik Ismail
4. Sapardi Djoko Darmono
5. Seobagyo Sastro Wardoyo
Selamat menulis, semangat berkarya. Jadikan
tiap goresan tinta kita memiliki manfaat dan pelajaran berharga bagi generasi-generasi
penerus kita. Jangan meninggalkan jejak digital kelam bagi mereka.
Tetap santun dalam berbahasa, dan sopan dalam
bertingkah.
Selamat malam sahabat blogger, selamat
beraktifitas.
Sumber: Gerakan Menulis Buku Indonesia, tips-menulis-puisi-dari-para-penyair.
Sumber gambar: IDN Times
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dwifantya-aquina/twitter-dibanjiri-puisi-puisi-sang-maestro-sapardi-djoko-damono
Komentar
Posting Komentar