Candala, Sepasang Pembunuh Bayaran

 


 Seseorang yang masa kecilnya kusebut sebagai lelaki berwajah candala, pernah mengalami masa-masa tragis. Aku datang sebagai kutukan turun temurun dan mengubah sifat aslinya menjadi sebengis mereka yang sudah menghinakannya. Siapapun yang menyentuhku, akan berubah menjadi pembunuh bayaran berdarah dingin tanpa welas asih. Balaskan dendammu! Balas sepuasmu!” ~Saujana~

***

Namaku Saujana. Lelaki yang sedang kubesarkan jiwa bengisnya adalah pasanganku. Nama Saujana aku dapatkan darinya. Seperti artinya, sejauh mata memandang, aku melesat jauh mencungkil tiap nyawa yang menjadi korbanku. Tentunya karena aku berasal dari jauh juga, yakni sebuah peradapan kuno ribuan tahun lalu di bagian barat laut China.  

Lelaki yang selalu kudampingi itu memiliki nama Lokananta. Seperti artinya, gamelan dari kayangan yang bisa berbunyi sendiri meski tanpa ada satu pun dewa yang menabuhnya. Jika diibaratkan sebagai perwujudan salah satu dewa, Anan, begitu teman-temannya memanggil, ia lebih tepat kuibaratkan sebagai Hades, lalu akulah Cerberus. Kami adalah malaikat pencabut nyawa yang Tuhan utus di dunia. Bedanya, malaikat mengerjakannya dengan segenap tugas dan tanggung jawabnya, kami dibayar dengan rupiah.

Jika diibaratkan dengan anomali iklim di negeri yang penuh kepalsuan, keserakahan dan kemunafikan ini, ia kuibaratkan sebagai El-Nino, dan aku El-Nina. Ia muncul sebagai dampak dari gaya Coriolis. Angin dari barat ke timur, menyalahi kodrat normal sebagaimana angin pada umumnya. El-Nino yang dapat memicu bencana iklim ekstrem pasti mampu membuat banyak manusia sombong yang tak mau bersahabat dengan alam menjadi kebingungan dan blingsatan. Sebab alam sudah muak di negeri yang penuh bedebah. Kau tak kan tahu apa akibat jika anomali iklim El-Nino dan El-Nina ini hadir bersamaan dalam versi kami. Kematian.

***

Pernah kami membunuh dua orang sekaligus dalam waktu dan lokasi yang sama. Satu berbayar, satu lagi sebagai bonusnya. Tugas kami hanya membunuh satu nyawa. Sisanya hanya tak beruntung saja. Ia ditakdirkan Tuhan menjadi saksi pembunuhan, maka kami menghabisinya sekalian.

Hari ini, Loka duduk di ranjang putih berbau harum khas bunga melati. Di sisi kanan kiri kosong, tak ada barang apa-apa. Kamarnya hanya berisi tempat tidur dan lemari. Satu lagi, tas spesial tempat rahasia, di mana aku selalu berdiam di dalamnya.

***

Namaku Lokananta. Jendela apartemen kubuka separuh. Kubiarkan mentari pagi menembus kaca dan menyentuh kulitku dengan hangat dan lembut. Sinar lembut itu menyentuh wajah dan kulit halus permukaan tanganku menyentuh sebuah pistol hitam kaliber tinggi yang kudapat dari menyuap seorang korup yang kukenal lewat dark web dan menyediakan segala alat bunuh handal dan aman.

Malam ini aku mencium bau nyawa manusia yang harus aku unduh dan kuberikan pada Saujana. Yang aku tahu, nyawa-nyawa yang kujual dan dibeli si pembayar akan ikut ke dunia Saujana yang ada entah di mana. Pasti menjadi budak. Dan semakin banyak aku membunuh, semakin aman jejakku. Ini pekerjaan Saujana yang selalu rapi dengan kekuatan magicnya. Dialah senjata andalanku. Dan aroma bubuk mesiu, akan menjadi aroma tersedap bagiku.

Tak ada yang mengira jika aku adalah manusia yang dulunya dekil, kurus kering, berwajah oval, alis tebal, menambah ketidak sesuaian muka jelek dan bau. Bagaimana tak menunjukkan penampakan yang menjijikkan? Lha wong aku tinggalnya di jalanan tak punya rumah. Tak pernah mandi kecuali ketemu ponten gratis. Aku hanya punya Ibu. Kata orang, Ayah dibunuh oleh pembunuh bayaran. Persaingan bisnis. Aku dulu kaya dan kondisi kami berubah drastis sejak Ayah dikuburkan. Kehidupanku, terlebih ibuku, mendadak gelap. Sepertinya, waktu itu kegelapan sedang menguasai kami.

Beruntung aku memiliki wali kelas berhati malaikat. Pak Kevin namanya. Ia menyelamatkan kami dari jalanan. Aku dikembalikan di kelas yang sebelumnya aku pernah belajar. Aku sempat berhenti belajar lama. Tak apa mengulang setahun daripada tak sekolah. Dia merawat kami. Aku dianggapnya anak dan ibuku dianggapnya kakak. Aku bahagia meski tidak dengan ibuku. Namun kebahagiaan itu tiba-tiba menghilang ketika Pak Kevin pun tewas mengenaskan dengan luka tembak di kepala. Di tembak dari jarak dekat dari mata tembus ke tengkorak belakang, dengan tubuh penuh luka memar dan berdarah-darah.

Aku sudah mengantongi nama pembunuh yang melenyapkan nyawa Ayah dan Pak Kevin. Malam ini kutetapkan sebagai hari nahas bagi si pembunuh itu. Karenanya aku telah menjadi pembunuh yang lebih buruk darinya.

Kupandangi papan tembak yang sedang berdiri tegak di hadapanku. Seolah ia siap menjadi bahan latihan tembakan jitu. Atau mungkin menantangku? Wajah lelaki yang tak kusangka itu, terus menghiasi pandangan tak nyataku. Ah, malam ini juga, kau akan lenyap!

***

Namaku Dersik. Aku malaikat pencabut nyawa yang sebenarnya. Seperti angin, aku tak berbunyi, tak berisik sama sekali. Namun kemunculanku mampu melayangkan satu atau lebih nyawa yang dibayar tunai untuk kucabut. Aku ada karena sebuah dendam kesumat. Akulah senjata pembunuh yang kesepian. Aku tahu sekali, batin Loka terluka dengan membunuh anak kecil. Namun kekuatan Saujana membengiskannya. Sadis!

Saujana punya kekuatan yang tak bisa dilawan manusia. Loka yang bekerja sebagai ahli IT di salah satu perusahaan besar di Surabaya memuluskan tiap transaksi melalui perangkat digital yang tak pernah kuketahui cara kerjanya. Memuluskan segala bentuk transaksi online melalui website gelap miliknya. Sorot angka-angka, kode-kode warna warni, dan rumus-rumus yang menggelitik otak banyak manusia yang buta alat digital.

Meski Loka dan Saujana adalah pasangan ideal, aku dan Lokananta adalah pasangan pembunuh bayaran terbaik. Dersik, malam ini akan beraksi. Bau yang tak biasa dari bagian tubuhku, akan tercium kembali malam ini.

***

Mata elang Lokananta menembus gelap malam di sebuah gang bilangan rumah mewah Surabaya yang lingkungannya bersih dan tertata rapi. Suasana sangat sepi di tengah malam. Tiap langkah dari sepatu import hitam milik lelaki dengan tinggi 170 cm itu terdengar bak musik kematian lirih pemecah keheningan. Padahal dalam keadaan normal, langkah kaki itu nyaris tak terdengar.

Tibalah ia di salah satu rumah yang menjadi sasaran Dersik. Sungguh sasaran empuk. Rumah pojokan dengan lokasi yang mendukung. Ia datang mengendap-endap dan lancar berada di atas balkon kamar. Saujana beraksi. Menebar kesunyian, hingga lengang menguasai malam. Agar Lokananta bisa bekerja tanpa cacat sedikitpun. Suara sepatunya kembali tak terdengar. Terhalang oleh bunyi musik dari kamar.

Lokananta sudah berada di sebuah kamar tidur yang penghuninya sedang mandi dengan semua pembantu yang tertidur lelap. Loka duduk di kursi dekat ranjang dengan menyilangkan kaki.

“Ka--kamu siapa?!” Sang pemilik kamar terkejut melihat kehadiran Lokananta.

“Bagaimana kau bisa masuk?” lanjutnya.

“Kau lupa padaku? Aku Lokananta.”

Hening ....

“Saujana, buat dia tak bisa banyak bergerak!”

“K--kamu ... de--dengarkan aku dulu. Kau salah!” teriak lelaki tak beruntung itu.

Tanpa basa basi, Loka mengeluarkan Dersik dari balik jas warna hitamnya. Dari pakaian hingga sepatu yang ia kenakan serba hitam menambah kesan sadis di wajahnya. Ia mengarahkan tembakan pertama ke arah kaki kanan. Di atas porselen warna putih, darah mengucur dari luka pertama, mewarnai pemandangan. Mulut lelaki separuh baya itu terkunci oleh kekuatan Saujana. Agar tidak berisik.

“Ini balasan untuk kebodohanmu membunuh Ayahku, kakakmu sendiri!”

Kemudian ... terdengar letusan kedua.

“Ini untuk kamu yang sudah membunuh Pak Kevin karena kau rasa, dia sudah ikut campur pada masalah keluarga kita!” Loka berteriak makin kencang.

“Tanpa kaki kanan dan kiri bagaimana rasanya? Itulah aku dulu!”

Letusan ketiga ....

“Ini untuk kamu yang sudah memperkosa Ibu berkali-kali di depan mataku wahai laki-laki jahanam!”

“Dan ini kau juga harus bayar karena telah memperkosa aku yang waktu itu masih terlalu kecil menerima perlakuan setanmu! Paman macam apa kau, laknat! Aku laki-laki sama seperti kamu!”

“Tanpa kedua mata bagaimana rasanya? Itulah aku dulu. Aku yang terpaksa dijauhkan dari Ibu demi menghindarimu, seperti manusia buta dan hilang arah. Rasakan ini!”

Kedua letusan terakhir diarahkan tepat pada mata kanan dan kiri, menembus otaknya. Sebagian cairan dari otak merembes keluar. Lelaki itu roboh dengan dengan teriakan melengking kemudian melemah.

“Dan ini, kamu yang tanpa sengaja menyewaku untuk membunuh bocah yatim piatu di panti asuhan! Matilah kau!”

Letusan pistol itu lirih, namun ketajamannya mampu menembus tengkorak dan tulang dada, meninggalkan bekas pantulan peluru di dinding penuh bercak darah. Satu lubang di paha kanan dan kiri. Lubang di kedua mata serta sepuluh lubang lain ia hujamkan di tubuh lelaki yang sudah tak bernyawa itu, tanpa ampun. Desing peluru dengan pergerakannya terlihat membabi buta dan terus ditembakkan oleh seseorang yang terlanjur memiliki dendam kesumat. Darah mengalir deras. Ia meninggalkan mayat dengan banyak lubang di tubuhnya begitu saja. Langkahnya gontai. Hatinya hancur lebur. Tak berbentuk.

“Ibu, maafkan Anan. Lekas sembuh. Jangan lama-lama di balik jeruji putih. Anan rindu.”

***

Seorang ibu terlihat sedang menangis tersedu. Ia menaburkan bunga di atas pusara dengan kondisi tanah yang sudah datar. Makam itu telah lama terbengkalai dan tak terawat.

“Nak, maafkan Ibu. Ibu baru bisa datang setelah dua tahun kematianmu. Maafkan Ibu karena telah menyimpan semua rahasia ini. Karena itu juga Ibu bertahun-tahun menjadi penghuni rumah sakit jiwa dan baru keluar pagi ini. Ibu tak sanggup menghadapi masa lalu. Ditambah sejak kepergianmu sekolah jauh, ibu masih berkali-kali diperkosa pamanmu hingga melahirkan seorang anak laki-laki tanpa dosa dan terpaksa Ibu titipkan di panti asuhan. Kemarin Ibu mendatangi panti asuhan itu dan ingin mengajaknya pulang, ternyata ia telah mati dibunuh. Pasti pamanmu lagi. Dia dendam pada Ibu.”

“Kenapa kamu bunuh diri dan membakar semua milikmu, Nak? Ibu kesepian. Padahal Ibu ingin menceritakan dosa besar Ibu pada Ayah dan pamanmu. Ayahmu mandul, Nak. Dan kamu adalah anak dari pamanmu. Ibu mengkhianatinya dengan menikahi Ayah demi harta. Dan tak ada siapapun yang tahu akan hal ini. Tak ada ... tak ada.” Sang ibu menangis sesenggukan.

Saujana dan Dersik seharusnya musnah bersama kematian Lokananta. Ia membakar semua lalu memotong nadinya. Saujana, sepatu hitam kuno dari peradaban Yuezhi berlanjut pada kekaisaran Kushan, didesain pemiliknya seiring dengan perkembangan jaman, dan pistol kaliber tinggi itu telah hilang beserta rahasia yang selama ini terpendam.

Sang Ibu, tiba-tiba pingsan dengan mengenakan sepasang sepatu kutukan berwarna hitam dari peradaban kuno di bagian barat Laut Cina ....


(diterbitkan tahun 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Sudut Pandang / POV Campur Cerpen "Waktu yang Tepat tuk Berpisah dan Menghilang"

Yang Harus Diperhatikan dalam Menulis Cerpen (Untuk Pemula)

Semeru Rumah Abadi