Arunika Milik Ibu

 


Senja merona dalam diam. Aku melihat Ibu duduk terisak dalam kamarnya. Sendiri. Sementara Mbak Dita, kakakku, sedang berteriak dan tertawa-tawa dari balik bilik samping rumah. Lalu Mas Pradipta, kakakku yang lain, akan ikut ke pemakaman adik tengahnya. Aku yang duduk di depan pintu kamar Ibu, lemas, menyaksikan semua kenyataan ini. Semua sibuk mengurus jenasah yang bersiap diarak ke rumah peristirahatan terakhirnya. Aku tak menyangka bahwa yang menghadiri pemakaman jasad itu amat banyak. Entah siapa saja. Aku tak perlu tahu. Jenasah itu dikelilingi saudara, tetangga, dan sahabat-sahabatnya di halaman depan rumah. Hilang satu nyawa Ibu yang ada lima. Sedangkan aku, hanya bisa bersedih, dan merasa tersisih.

***

Ibu pernah bilang bahwa nyawanya ada lima. Jika berkurang satu saja, maka nyawanya tak akan lengkap. Dulu, Ibu selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Jika salah satu dari kami jauh, Ibu seperti tak ada semangat hidup. Alhasil kami berlima memutuskan kuliah di kampus yang dekat agar dapat pulang tiap hari menemani Ibu di malam hari. Jumlah kami sebelum Ibu tidur harus lengkap lima. Tak ada satu saja, ia bisa begadang sampai subuh menunggu hingga semua anak-anaknya lengkap.

Entahlah ... ini dinamakan terlalu sayang atau apa. Sempat heboh ketika Mas Pradipta memutuskan tuk menikah. Di ruang bercat putih dengan atap yang bercat hijau, dan beberapa kursi kayu jati berplitur coklat matang menjadi saksi betapa galaunya mendengar apa yang diutarakan Mas Pradipta. Ini artinya, salah satu dari kami akan ke luar dari rumah, pindah ke rumah sendiri bersama keluarga inti. Kami saling berlempar pandang. Dari Ibu ke Mas Pradipta lalu ke Ibu lagi. Kami saling menautkan tatap mata cemas.

Sejurus kemudian, Ibu tersenyum. Sejenak ia mengambil nafas dalam-dalam dan berkata, “Jika kepergian kalian dari rumah ini adalah karena menikah, maka Ibu tidak keberatan.” Berasa kami semua ingin bersorak lantang. Namun tertahan karena sungkan sama Ibu. Hanya sedikit tertawa riuh di ruang tamu. Mbak Dita yang tak tahu apa-apa, ikut bersorak dan berteriak kegirangan. Ia, kakak pertama yang menderita kelainan. Keterbelakangan mental, tak bisa berbicara, tak bisa berjalan. Orang yang tak mengenal keluarga kami, pasti mengira bahwa Mbak Dita gila. Karena kekurangan itu, kami berlima bergantian memandikan dan menyuapi Mbak Dita.

Ibu tak kami ijinkan capek-capek. Biar Mbak Dita dan rumah menjadi urusan kami berempat. Sebab ibu sudah mulai senja. Kaki pun susah digerakkan. Ibu mengalami pengapuran, menderita asam urat, kolesterol dan darah tinggi. Padangan mata Ibu juga sudah mulai kabur. Sampai akhirnya, anak-anak ibu berkeluarga, tersisa Mbak Dita, Mita dan aku. Mita memutuskan untuk mondok dan mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di pondok tempat dia belajar. Tinggallah aku sendirian yang merawat Ibu dan Mbak Dita di rumah ini. Jika aku menikah nanti, kuharap, pasanganku bersedia tinggal di rumah ini serta sayang pada Ibu dan Mbak Dita. Sebab kakak-kakak iparku, tak seberapa mau mengurus Mbak Dita yang sering sekali bau pesing dan pup di celana.

Bilik itu memang tak pernah wangi. Karena jika Mbak Dita pipis atau pup, Ibu selalu menungguku pulang dari kampus dan tempat kerja. Sebab aku kuliah sambil bekerja menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah kecil dekat rumahku. Aku berjualan sebagai sampingan agar aku tetap bisa kuliah. Jatah ibu tiap bulan dari keempat anaknya pun berkurang karena sudah memiliki keluarga masing-masing. Untungnya Ibu masih ada pensiunan dari almarhum Bapak.

Hari ini Mita pulang. Adik yang paling dicintai keluarga ini. Paras ayunya, kecerdasan serta prestasi-prestasinya amat membanggakan keluarga kami. Diantara kami berlima, ia yang paling sakit-sakitan sejak kecil. Dan Maha Adil Allah, Mbak Dita tidak pernah sakit.

***

Di dalam ambulance itu, aku menemani Mas Pradipta menangisi kematian sosok jenasah yang sedari tadi tertutup sehelai kain putih. Dalam laporan yang sempat dibaca lirih oleh Mas Pradipta tadi, sebab meninggal adalah kelelahan dan serangan jantung. Aku menghela nafas panjang. Entah kenapa, aku tak merasa sedih. Apakah aku sudah mati rasa akibat tersisihkan selama ini?

Bagaimana tak tersisihkan? Kakak pertama, tak tahu menahu tentang urusan keluarga. Aku tak menyalahkannya, ini karena segala keterbatasan dan kekurangannya. Kakak kedua, kebetulan mendapatkan istri yang bahkan tak mau menginap di rumah kami. Kalau pun menginap, ia lebih memilih tidur di hotel yang berjarak satu kilometer dari rumah. Begitu juga dengan pasangan saudaraku lainnya. Aku tahu hati kedua saudaraku itu sedih. Harapan mereka ada padaku dan Mita. Semoga pasangan kami kelak bersedia tinggal di rumah ini. Ya, semoga saja.

Ambulance meraung-raung dengan kencang. Bunyinya memekakkan telingaku. Mas Pradipta masih saja tak berhenti menangis. Aku kesal dibuatnya.

Sampai di rumah, seluruh manusia yang ada di rumah ini pecah. Tangis dari segala penjuru arah tertumpah. Kenapa mereka semua menangisi jasad ini? Apakah tak ada yang peduli padaku? Seluruh saudaraku berkumpul. Aku melihat Mas Pradipta dan Prapti, menangis di samping jasad yang akan segera dimandikan. Aku mendengar mas Pradipra terisak sambil berkata lirih sekali, “Aku dan Prapti tak seharusnya bertengkar denganmu malam itu. Bukan aku tak sayang padamu, tapi memang kamulah harapanku satu-satunya. Maafkan Mas yang sudah membentakmu. Itu tak sengaja. Dari kita berempat, kamulah satu-satunya yang bisa kami andalkan. Yang lainnya tak akan bisa ikhlas merawat Ibu dan kakak kita seperti dirimu.”

Kini aku yang menangis. “Kenapa bukan aku? Hei, selama ini aku ... aku. Bukan jasad ini. Jasad mati ini tak tahu apa-apa tentang Ibu dan Kakak kita.”

Di sebelahnya, ada Prapti yang juga lirih menangisi. “Maafkan aku. Aku tak punya pilihan. Suamiku tak menghendaki meninggalkan pekerjaannya di Surabaya. Kami tak mungkin bisa tinggal di sini. Bukankah aku harus patuh pada suami?

Bergeser ke samping, ada sosok wanita bersahaja separuh baya. Ia adalah pimpinan di mana jasad ini bekerja. Ia berkata, “Almarhumah sosok yang rajin, tekun dan cekatan. Ia juga dicintai anak-anak. Ia penyayang dan sabar. Beberapa hari ia sibuk mempersiapkan pentas seni perpisahan anak-anak kami kelas 6. Almarhumah juga keliling mengurus segala sesuatunya.”

Bergeser lagi ada sosok lelaki berbadan tegap bermata sayu. Aku mengenalnya juga. Ia berkata, “Almarhumah selalu totalitas setiap ada kegiatan di pengajian. Lebih-lebih di grup banjari kami sebagai vokalis inti. Beberapa hari ia sibuk mempersiapkan lomba tingkat propinsi, dan alhamdulillah menang kemarin. Padahal bulan depan kami harus menghadiri babak final tingkat nasional mewakili Jawa Timur.

Ada lelaki paruh baya. Ia ketua komunitas UMKM kota ini. Ia juga memberikan pendapat, “Almarhumah sangat ramah, suka sekali menolong sesama anggota. Semua dia anggap sebagai saudara. Keramahannya membuat kami amat sangat kehilangan.”

Masih ada manusia-manusia lain di rumah ini yang aku kenali. Mereka selalu berkata bahwa almarhumah adalah orang baik, pantang menyerah, tulus, dan pekerja keras. Sungguh mereka kehilangan sosok jenasah yang terbujur kaku berbungkus kain kafan ini. Mereka semua mendoakan almarhumah semoga husnul khotimah dan diterima seluruh amal perbuatan selama masih hidup dan diberikan kebagiaan di jannah. Aku tersenyum mendengarnya. Aku tak jadi kesal. Aku dari tadi berkeliling dari depan hingga ke depan rumah lagi, tak ada yang mengatakan hal buruk tentang jenasah ini.

Sedari tadi aku mencari saudara terakhir di keluarga ini. Ternyata dia terduduk lemah di pojok belakang rumah menyendiri. Hidung dan pipinya merah akibat terlalu banyak menangis. Ah, seperti itulah ia. Itu sebabnya aku selalu menyebutnya gadis terayu dan termanis. Adik bontot kami. Ia berkata, “Mbak, maafkan aku. Seharusnya aku tak egois dan memutuskan pulang tuk membantumu merawat Ibu dan Mbak Dita di rumah. Aku terlalu bernafsu meraih cita-citaku. Aku lupa, bahwa ada satu orang yang selalu berkorban demi keluarganya. Bahkan ia rela meninggalkan calon suaminya karena ia tak mau tinggal serumah dengan Ibu dan Mbak Dita. Lagi-lagi kau mengorbankan hidupmu demi kami. Maafkan kami, Mbak.” Isaknya makin keras.

Aku pun bergeser pada Ibu. Di depan kamarnya aku terduduk lemas. Aku paling tak tega melihat keadaan Ibu. Ibu berkata sambil memandangi sebuah foto, “Nduk, kowe gandolane atine Ibu. Sak iki kowe lungo, Ibu mengko karo sopo, Nduk? Trus sing ngeramut mbakmu sopo? Mugo kowe mulyo ndek sandinge Gusti Allah ya, Nduk.”

Aku tak kuat memandangi pemandangan paling menyedihkan ini. Aku pun beranjak pergi menuju Mbak Dita. Aku yakin ia melihatku ada di depannya. Tak apa jika yang lain menganggapku tak ada. Aku mendengar suara berisik Mbak Dita ke arahku. Tangannya menjulur ke arahku seolah ingin memeluk erat. Tapi aku tak bisa. Tubuhku sudah terlalu kaku. Aku harus segera pergi. Keranda itu sudah siap dibopong ke makam desa.

Bu Darmi, terima kasih sudah mau hadir. Bersihkan namaku. Bukan aku yang mengkorupsi uang koperasi. Pak Santosa, masukkan saja keponakan Bapak untuk menggantikan aku. Aku tak apa-apa. Lomba terakhir kalian harus juara. Semoga keponakan Bapak memberi perubahan lebih baik. Pak Dion, semoga dengan kepemimpinan Bapak tahun ini, UMKM lebih berkembang lagi. Meski engkau telah menggeser posisiku tanpa sebab yang pasti, dan menyebarkan bahwa produk yang saya buat tidak halal sehingga semua konsumen menolak produk buatanku. Mas Tyo, mantan calon suamiku, aku tak melihatmu dari tadi. Tak kusangka kau juga hadir. Jangan sedih dan jangan menangisi kepergianku. Semuanya terlambat. Kau putuskan sepihak untuk membatalkan lamaran kita, dan aku menerima setelah aku berjuang untuk hubungan kita.

Mas Pradipta, Prapti, dan Mita. Jaga Ibu dan Mbak Dita. Jangan saling tunjuk lagi siapa yang akan merawat Ibu dan Mbak Dita. Jika kalian mulai ragu lagi meski sudah kutandai dengan kepergianku, ingat kembali perjuangan Ibu di masa lalu demi kita semenderita apa. Tak ada keluh kesah. Tak ada hujan air mata. Yang penting Ibu bisa melihat anak-anaknya bahagia. Tak bisakah sekarang gantian? Kita, anak-anaknya yang berusaha membahagiakan Ibu, orang tua kita yang tinggal satu.

Bu, Ika sayang Ibu. Jaga kesehatan. Baik-baik selama tak ada Ika. Sebab Ika akan ikut pergi bersama’an dengan jasad ini. Aku tak menyangka semua teman-temanku datang. Aku tak menduga pula semua pemimpin-pemimpinku hadir. Sebanyak ini mengiringi kepergianku.

Ibu, maafkan Ika. Ika harus pergi. Bukan karena sudah tak sayang Ibu lagi. Tapi ini sudah jalan kita semua. Ikhlaskan Ika ya, Bu. Allah sudah menunggu Ika. Anurika milik Ibu. Swastamita juga milik Ibu. Pun dengan Mbak Pradita, Mas Pradipta, dan Prapti, milik Ibu. Fajar Ibu telah pergi, tapi masih ada senja dan saudara-saudaraku yang lain. Sudah saatnya Ika beristirahat dengan tenang.

Keranda sudah diangkat. Tanda aku harus segera pergi. Tubuhku mulai kaku. Badanku sakit semua. Rasa dalam diri sudah mengecap rasa lelah. Aku ingin beristirahat dalam tidur panjangku dan tak akan bangun lagi hingga Gusti Allah memintaku tuk bangun kelak, di duniaku yang baru. Semoga yang kudapat bukan dunia baru yang seram seseram kitab-kitab dan buku kajian yang pernah kubaca. Aamiin ....

 (diterbitkan tahun 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Sudut Pandang / POV Campur Cerpen "Waktu yang Tepat tuk Berpisah dan Menghilang"

Yang Harus Diperhatikan dalam Menulis Cerpen (Untuk Pemula)

Semeru Rumah Abadi