A Novel "Zerdali"

Prolog

 


Cinta sejati itu bagiku adalah sebuah cinta dimana ketulusan bernaung di dalamnya. Sebuah rasa tanpa batas berselimut keikhlasan dan penuh kasih, dimana seorang pecinta itu tak akan punya hati ketika melihat yang dikasihi menangis sedih. Ia akan bertahan dalam amarah sehebat apapun. Agar amarah itu tak dapat menyakiti orang yang dicintainya.


Bagaimana kita bisa menyayangi jika kita tak mampu mengasihi? Dan bagaimana kita bisa mencintai bila kita tak mampu tuk menyayangi?
Cinta itu tak menyakiti. Jika engkau sanggup tuk menyakiti, itu berarti cintamu mulai berkurang.



Cara untuk bangkit dari masa lalu adalah dengan menghadapinya. Seseorang tak akan bisa tegak berdiri jika ia masih melihat ke belakang. Sepahit apapun itu, hadapilah. Karena masa depanmu harus lebih baik dari masa lalu.
~ Zerdali ~




    1            Namaku Aretha

Hai, namaku Aretha. Ada yang manggil Rere, Retha, ada juga yang memanggil lengkap Aretha. Sedangkan sahabat baikku, Hilman, memanggilku Jemblem[1] karena pipiku yang chubby. Dan dia ku panggil Terong karena dia suka banget makan terong. Sebetulnya ada rasa saling menyayangi diantara kami. Tapi kami jalani apa adanya dulu, karena aku ingin fokus pada hidupku dan adikku. Sedang dia, fokus pada tesis S2 pendidikannya.
Ada sebuah kutipan yang menjadi faforit bagiku dan mungkin menggambarkan rasaku dan rasanya.
“Tidak ada seorang pun yang mencintai pasangannya karena ia tampan/cantik atau jelek, juga bodoh atau pintar. Kita semua mencintai karena perasaan itu sendiri.”
Honore de Balzac

Aku terlalu sibuk dengan hidupku dan Harun, adikku yang spesial. Kadang hal ini  membuatku sangat lelah, kadang juga aku merasa beruntung memiliki dia. Dunia boleh menertawakan kehidupan kami. Meremehkan dan memandang sebelah mata adalah pekerjaan mereka. Dibilang kami tak kan bisa hidup, tak kan bisa makan. Padahal hidup ini indah meski berat tanpa ada orang tua bersama kami.
Ya, ayah dan bunda meninggal dalam kecelakaan. Saat itu aku sedang ulangan. Jadi tak ikut dalam perjalanan itu. Dan Harun sedang di rumah dengan simbok. Ia tak ingin ikut karena ia tak mau ketinggalan film kartun faforitnya. Jadi kami tinggal berdua saja kini. Meski esok setelahnya, kami mengalami peristiwa yang merubah semuanya.
Ya, aku bahagia menjalani kehidupan ini. Aku yakin bisa menghidupi diriku dan Harun. Hanya terkadang sebuah kecemasan hilir mudik dalam pikiran, dan mengalir begitu saja di tiap guratan wajah. Sungguh tidak mudah merawat seorang adik, berkebutuhan khusus, yang dulu ketika ku tinggal kerja, ia dipaksa untuk tinggal dan dikunci di rumah. Kejamkah? Mungkin bagi dunia aku kejam. Tapi aku tak mau kehilangan dia selagi aku tak ada.
Aku tak punya banyak uang untuk menyewa seorang pembantu ataupun baby sitter untuk Harun. Kadang aku menangisinya dari luar kamar ketika kamarnya ku kunci. Aku harus meninggalkannya sendirian di rumah. Ku tinggalkan beberapa makanan dan minuman di piring dan gelas plastik. Ku singkirkan benda-benda tajam atau benda apapun yang bisa membahayakan dia.
Aku tak bisa kuliah seperti teman-teman yang lain. Bagaimana bisa aku meninggalkannya lama-lama? Bekerja, belajar, sampai rumah pasti larut malam. Tidak, aku tak bisa mengorbankan tumbuh kembang adikku sendiri. Harus punya waktu lebih untuknya. Untuk itu, aku tak pernah meninggalkan dia sendirian lagi demi uang yang lebih banyak. Terlebih untuk belajar. Karena aku bisa melakukannya di rumah.
Harun memang tak boleh sendirian. Pernah suatu hari, aku hanya meninggalkan dia sebentar saja, hanya beberapa meter dari rumah ke toko sebelah tuk membeli bahan pentol cilok, dagangan di rumah. Begitu sampai rumah, hanya beberapa menit, sudah terjadi kekacauan luar biasa. Terlihat olehku, ia sedang berkelahi dengan anak tetangga waktu itu. Masalahnya, karena ia jadi bahan olok-olokan dan diteriaki gila. Dan ibu dari anak yang mengolok-olok Harun itupun ikut-ikutan mencubit dan ngamuk kepada Harun. Sambil berteriak, ia mengatai Harun dengan kalimat yang lebih menyakitkan dari ucapan anaknya, “Sudah ga waras ya? Mungkin benar kamu ini bawa sial bagi keluargamu. Nakal sekali.” Sakit hatiku mengingat itu. Dan aku hanya bisa memeluk tubuh kecil adikku itu.
Sejak saat itu, kemanapun aku pergi, ia ku bawa serta. Karena dunia menjadi kejam jika ia dikelilingi oleh orang-orang yang tak mengerti dan memahami kenapa ia menjadi anak yang berbeda. Ia tak boleh bersedih, tak boleh marah, tak boleh juga kekurangan kasih sayang. Karena dia autis. Dia butuh yang lebih dariku. Apapun akan ku lakukan untuk kebahagiaannya.
Selepas kepergian kedua orang tuaku, rumah besar itu kujual. Hasilnya ku bayarkan untuk hutang-hutang ayahku. Lalu ku belikan rumah kecil sederhana yang cukup untuk kami tinggali. Lepas dari kemewahan yang dulu kami miliki. Sisanya yang tak seberapa banyak, aku tabung dan akan kuambil jika sewaktu-waktu mendadak butuh uang. Untuk kebutuhan sehari-hari, aku bekerja keras. Tapi aku juga tak berhenti belajar. Ku sisihkan sebagian gaji untuk membeli buku. Karena aku tak seberuntung teman-temanku. Aku belajar di rumah saja sekalian mendampingi Harun belajar. Tak terasa kini ia sudah kelas empat.
Dengan keadaan ini, beruntunglah kami karena didikan ayah bunda dulu membentuk agar kami bisa hidup mandiri dan kuat di segala masalah sejak kecil. Masih teringat saat ku terjatuh dari sepeda. Aku bangkit dan berdiri sendiri. Dan sentuhan lembutnya mengobati lukaku. Tangan manisnya memelukku erat seolah menghibur tuk sekedar menghentikan tangisku. Bahkan ketika ada masalah dengan teman, bunda hanya memberi masukan. Sepenuhnya sudah jadi tanggung jawabku untuk menyelesaikan masalah dalam hidup. Bunda wanita terhebat.
Dan ayah, kekasih dan cinta pertamaku. Tempatku bermanja. Tempatku mendapatkan kasih sayang yang utuh. Mengajariku tuk bisa tegak berdiri meski telah berkali-kali jatuh. Memberikan cinta dan edukasi yang tak bisa ku lupa begitu saja. Mengajari bagaimana cara mencintai sesama dengan benar. Jika tak ingin di cubit, maka jangan mencubit. Tapi jika kita di cubit, kita tak boleh membalas. Selalu menebar senyum meski hati sedang menangis. Karena dengan senyum, kita sudah melakukan ibadah sederhana yang bernilai keindahan. Dan dari situ, kasih sayang akan hadir untuk sesama.
Jangan lelah berbuat baik meski kita sedang menghadapi kesulitan apapun. Ayah adalah lelaki terindahku. Sedang ibu, malaikat nyata di bumi ini. Aku hanya bisa mengingat mereka dan mengenangnya. Menerapkan segala ajaran-ajaran baik yang sudah ada.
***
Hari ini aku tak kemana-kemana. Karena hari ini hari Minggu. Waktu terbaik tuk menghabiskan waktu dengan Harun di rumah. Aku duduk-duduk di depan tivi sambil mengawasinya bermain. Tubuhku sedang berada di depan tivi, tapi mata melihat ke luar jendela. Mencoba menyisir satu demi satu anganku yang sedang mengalir ke luar sana. Pikiranku sedang menggapai-gapai sesuatu yang bisa membantuku sedikit tenang. Dan sebetulnya, hatiku sedang rindu.
Bisa dibayangkan hidup tanpa orang tua. Aku yang terbiasa hidup dipenuhi fasilitas rumah dan pendidikan yang terbaik, dalam sekejap tiada. Hanya tinggal beberapa saja lulus sekolah. Tapi Allah memberikan jalan hidup yang berbeda. Aku berjuang sendiri dengan biaya sendiri dan mencukupi kebutuhan Harun yang terkasih.
Mataku masih terus memandang dedaunan Pohon Sono dari balik jendela. Beberapa dari mereka mengayun-ayun bak menari dalam damai. Aku ingin menari diantara debu-debu bekas kehancuran masa laluku. Tak ada yang tahu bahwa aku telah hancur. Aku ingin menari bebas memenuhi ruang gelap itu. Terus bergerak. Meloncat dan melompat. Berputar mangiringi gundahnya hati.
Di ruang gelap itu, aku menari dengan gaun putih. Senyum ku lemparkan di setiap sudut ruang itu tanpa terlihat perih. Dan teman dari senyumkupun mulai menunjukkan dirinya. “Hai, aku bersamamu sekarang. Mari menari bersama.” Dan iapun terus mengalir di permukaan pipiku yang tak pernah tersentuh bedak atau make up apapun sejak lima tahun lalu. “Hai, Zerdali. Aku kan menemanimu hingga engkau lelah berlari. Aku tak kan pergi. Karena aku sudah nyaman disini.”
Ayah, bunda, Rere rindu. Sungguh kurang lama waktu ayah bunda memelukku disini. Andai engkau disini, aku tak kan sehancur ini. Tapi, seandainya engkau masih disini, engkaulah yang paling hancur. Dan aku tak mau melihat ayah bunda menangis karena ini. Biar aku saja. Biar aku saja yang merasakannya. Jangan kalian. Akan ada empat hati yang terluka. Biar Rere saja yang menanggungnya. Rere masih kuat. Rere masih bisa tegak berdiri. Meski sampai merangkakpun aku akan tetap jalani hidupku. Demi Ayun, yah, nda. Permata kita bertiga. Aku tak kan meninggalkan ia sendiri demi menyusul kalian disana.
“Kakak... Kakak... Ayun pipis ndek[2] celana.”
Panggilan Harun membangunkan imajinasiku.
“Lha kok bisa tho, Yun? Kenapa ga ke kamar mandi? Ayo ke kamar mandi sekarang.”
“Ayun takut. Ayun takut.” Ujarnya sambil memegang erat tangannya sendiri.
“Takut opo tho? Ayo sama kakak.”
“Ayun takut... Ayun takut.” Ujarnya berulang-ulang sambil memainkan jari jemarinya di depan perutnya sambil mondar mandir di tempat ia berdiri, seperti orang yang sedang gugup sekali. Tanpa pikir panjang, aku langsung check kamar mandi. Dan Ya Allah, ada kecoak besar di dinding pojok kamar mandi. Lalu segera ku ambil semprotan anti serangga, dan ku buang jauh.
Meski kepanikan di wajahnya mulai menunjukkan ekspresi tenang, tapi sikapnya seperti berbeda. Seperti bukan Harun yang biasanya. Saat ku genggam tangannya, terlihat tangannya yang memar seperti habis memukul benda keras.
“Tanganmu kenapa? Bilang kakak.” Entah kenapa emosiku mendadak meledak-ledak.
“Ayun... ayo bilang ini kenapa...??!” Sejenak air matanya mengalir di pipi. Dan tiba-tiba ia memelukku dengan kencangnya. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ada apa dengan tangannya Ya Allah...??? Seketika itu juga ku layangkan kakiku secepat mungkin, memeriksa tiap dinding, lantai, meja, dipan[3] di seluruh ruangan. Tapi tak ada bekas darah atau pukulan dari tangan Harun. Karena ketika dia emosi hingga sampai memukul sesuatu, itu artinya ia sedang berada dalam kondisi tantrum[4].
Masya Allah... Harun tak mengucapkan sepatah katahpun. Mungkin dia marah dan ketakutan ketika melihat kecoa mati di kamar mandi tadi. Aku akan bertanya lagi ke Harun nanti. Aku juga tak memperhatikan lantai dan dinding kamar mandi. Karena ku lihat Harun sudah tenang, maka ku tunda tuk mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Setelah ruang tamu bersih, ku mandikan Harun, sekalian mengajarkannya mandiri, belajar mandi sendiri. Seperti biasa, kami main air dulu. Tertawa bareng. Kamar mandi jadi rame, bajuku basah semua. Jadi banjir. Hahahahaha... . Nikmat mana lagi yang kau dustakan Aretha...? Sekecil apapun, jika hal itu bisa membuatku bahagia, maka itu sebuah anugerah. Beberapa menit berlalu, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Sepertinya ada tamu. “Assalamualaikum, Rere... Harun... Ini kak Hilman.”
Mendengar nama Hilman, Harun langsung loncat gitu aja dari bak mandinya. Padahal mandi belum selesai. Dan otomatis dia lari ke depan tanpa pakaian apapun di tubuhnya. Ya Ampun... Secepatnya aku berlari menyusul Harun dan kubalutkan handuk putih di tubuhnya.
Dia ingat kalau sudah dijanjikan mainan baru sama Si Hilman, yang sudah dianggap seperti kakak sendiri. Pintu di buka, Harun yang cuma dibalut handuk putih itu berteriak loncat-loncat kegirangan.
Senyumnya yang merekah tanpa beban kehidupan menghibur kami semua.
“Hey Tayo... Hey tayo... Hey Tayo... Hey Tayo... .” dia bernyanyi barengan sama Hilman. Bahagianya dia. Padahal Tayo sudah tidak booming lagi tapi mainan ini masih jadi mainan terfaforitnya.
“Berpakaian dulu baru main ya. Terserah Ayun mau main berapa lama. Tapi harus ganteng dulu.” Dan iapun patuh dengan ucapan si Hilman.
Setelah semua selesai, aku berdiri di depan kamar sambil menatap Hilman yang bermain dengan Harun. Dan aku melihatnya tersenyum ke arahku sambil melangkahkan kakinya mendekatiku.
“Aku yo ono hadiah nggo awakmu loh, Mblem[5].”
“Oya?” Jawabku tak percaya.
“Coba buka’en ta[6].”
Dia menyodorkan sebuah kotak berat yang terbungkus kertas kado warna biru. Karena penasaran, ku coba mengocok-ocok isinya.
“Hey, itu barang sensitif. Jangan di kocok. Bahaya!”
“Apa’an sih, Te. Bikin kaget aja. Ngasih aku kado mercon[7] gitu? Niat banget deh. Ojo alay.”
“Kok bom? Sempak.”
“Yek, nggilani[8]. Jorok banget. Ga mendidik.” Pekik ku.
“Kowe wae sing ngeres. Sempak bola, kata Cak To.”
Geli dengan ucapannya. Memang ada tetangga yang sudah sepuh. Orang sini memanggilnya Cak To. Kalo nyebut sepak bola, jadi sempak bola.
Dan Si Terong itupun tertawa ngakak lihat muka ku. Dengan penasaran, ku buka bungkusnya dan...
“Waaoooww... Terong. Ini buku yang lama ku cari. Di toko buku sini ga ada semua. Gimana bisa kamu nemu buku ini?” tanyaku.
“Asal kamu tahu ya, Mblem. Aku tuh sampai menyeberangi lautan dan memanjat pohon kacang ajaib sampai di balik langit di atas sana. Demi agar karena supaya biar engkau tuan puteri manisku bisa baca buku faforitnya.” Jawabnya nge-gombal.
“Puteri manisku? Sejak kapan kamu jadi bapakku, Terong bulet? Gombal mulu. Serius beli dimana ini?”
“Kok gombal sih? Ini serius tahu, Mblem.” Mukanya terlihat meyakinkan, sih. Tapi ngaco. Wkwkwkwkwkwk... .
“Pesan di temanku. Dia jualan buku online. Aku harus nunggu 14 hari baru buku ini nyampe di kamu.” lanjutnya.
“Selama itu?”
“Iya. Tapi ga gratis loh.”
What? Ga gratis dia bilang. Allah... .
“Kok gitu sih sama temen juga. Ngasih hadiah, ada maunya.”
“Ya gimana? Kan perjuangannya berat. Ga murah loh. Ini beli pake sebagian gaji pertamaku di tempat kerjaku yang baru. Gaji pertama itu aku simpan lama sampai aku tahu mau aku pake buat apa.”
“Haaah... Serius? Kamu sudah kerja lagi? Kok aku ga di kasih tahu?”
“Dah lama banget sih aku kerja, tapi ga bilang. Jam kerjaku ma kamu sama. Makanya hari ini mau aku ajak kamu sama Si Entong jalan-jalan ke Surabaya. Trus makan-makan. Dan harus mau. Ini caranya kamu membayar jerih payahku. Dan masalah aku ga ngasih tahu kamu, buat kejutan aja sih. Maaf, ya. Aku jadi jarang ketemu kamu sebulan ini. Bosku galak. Lebih galak dari kamu, tahu ga?”
“Hahahahaha... Ada-ada aja lu, Te. Mana ada yang bisa ngalahin jahatnya gua ke elu?” sambil ngakak.
“Ada dong. Elu kan cewek. Gue cowok.”
“Lha yang bilang lu cewek siape, Te? Eh, kenapa jadi elu gue ya?” sergah ku.
“Belum selesai ngomong, Marimar. Nah kamu ngapain pakai elu gue tadi?”
“Gara-gara elu, Bambang...”
Ngakak bareng.
“Kan kamu tahu kalau cewek itu selalu benar. Bos juga selalu benar. Nah, bos aku cewek.” Lanjutnya sambil nunjukin muka melasnnya. Setelah beberapa detik saling pandang sambil senyum-senyum, kami barengan ngomong,
“Kelar hidup loe....!!!” dan kamipun ngakak bareng lagi.
Hilman melanjutkan ucapannya,
“Surabaya sekarang di sulap jadi cantik. Kita jalan-jalan tipis dan hemat suhemat.”
“Boleh deh. Naik bis apa angkot?”
“Bawa wanita cantik mah kudu naik mobil atuh, neng.”
“Mobil?”
“Iya, mobil Pakdhe Adi. Lagi keluar kota seminggu. Aku dah ijin kok. Jangan khawatir.”
“Ya udah, aku ganti baju dulu ya. Tungguin bentar.” Kataku.
“Nunggu? Kamu ga nanyain aku nunggu kamu sampai berapa lama?”
“Kenapa?”
“Nungguin kamu dihatiku.  Eeeaaaaaa....”
“Gombal aja, ah.”
“Nunggu kamu sampai bertahun-tahun aja aku rela. Masak nunggu kamu cuma ganti baju gitu aja ga bisa? Aku kan cowok bertanggung jawab, Mblem.”
“Apa hubungannya sih? Diiihh...”
Dan, sambil nahan ketawa, akupun meninggalkannya di ruang tamu ngomel-ngomel sendirian.
Akhirnya kamipun berangkat dengan membawa mainan Tayo-nya si Harun. Ga mau ketinggalan itu Tayo. Hehehehehe ... .
Dan buku ini,
Bangkit Dan Runtuhnya Andalusia, karya Dr. Raghib As-Sirjani.
Kisah tentang kejayaan kaum muslimin dalam menaklukkan berbagai wilayah di Eropa, yang kemudian berpengaruh pada peradabannya. Banyak ilmuwan dan ulama yang menjadi rujukan ilmu pengetahuan bagi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kejayaan yang berakhir dan runtuh pada akhirnya. I love history.
Terima kasih Terong Hosong teman kesayangan atas hadiahnya. Kau tambahkan satu lagi teman baikku di rumah.








   2            Aku dan Harun

Pagi ini, ingatanku masih terikat oleh kenangan ayah dan bunda. Tiap mentari terbit maupun terbenam, ingatan ini tak mampu lepas dari aroma wangi parfum ayah, aku memakainya sampai sekarang. Tak bisa lepas dari tiap bayangan demi bayangan yang bernaung di dalamnya. Ingatan yang tak lekang oleh waktu akan sebuah senyuman yang mendamaikan hati dan jiwa. Dan Harun, dialah satu-satunya kekuatan utama, karena tanpanya, mungkin nyawa ini tak lagi bernaung dalam tubuh ini, sejak lama.
Seminggu ini aku ijin tak bekerja karena Ayun sakit. Ya, Ayun nama panggilan kesayangan kami kepadanya. Biarpun hanya flu dan diare, aku tak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah meski hanya 7 jam saja. Tujuh jam bekerja di toko Pak Andre. Pulang kerja, aku jualan cilok di rumah. Kerja yang gampang sambil jagain Harun. Ia sedang asyik main dengan mainan barunya, si Tayo.
“Ayun, ayo berangkat sekolah. Kakak sudah siap. Daaaaannn... kakak belikan buku baru nih. Gambar Tayo.”
“Yeeeeeeeeyyy...” secepat kilat ia menyambar buku-buku tulisnya bergambar Tayo. Semangat dan senyumnya di tiap hariku, seolah menghapus segala kepedihanku. Aku tak mau melihatnya sedih. Susah payah aku berusaha membuatnya tertawa bahagia sejak peristiwa beberapa tahun lalu. Peristiwa yang teramat menghancurkan aku. Yang ingin ku lupakan, tapi tak bisa. Mungkin hingga ku tiada, ku tak kan sanggup melupakannya. Dan tak kan sanggup memaafkannya.
Ku bonceng adikku dengan sepeda. Ku kayuh dan ku kayuh terus, seperti halnya aku yang melanjutkan hidup. Aku tak mungkin hidup selalu dibayangi oleh masa lalu. Biasanya, ku bonceng ia di depan. Karena ku tak mau ia melihat kakaknya menangis karena mengingat kembali masa itu. Ya, aku sering menangis ketika ku kayuh sepedaku sembari diganggu ingatan-ingatanku itu.
Harusnya aku mampu meninggalkannya, kenangan itu. Jauh dari hati dan pikiranku. Dan aku yakin, seandainya saat itu Harun memahami apa yang terjadi, hatinyapun akan ikut hancur. Meski kekhawatiranku akan beban batinnya yang menyaksikannya langsung di depan mata, dengan tangan dan mulutnya yang terikat. Sungguh aku takut. Aku takut pengalaman itu akan terus menjadi pengalaman kelam dalam hidupnya. Tapi aku tak kan pernah membiarkan itu terjadi. Harun harus tetap bahagia, meski bayang-bayang itu tak bisa terlupa.
***
Sesampainya di sekolah, ku antarkan ia hingga sampai di depan kelasnya. Kelas yang tak seharusnya ia berada. Karena, semestinya ia berada di sekolah berkebutuhan khusus untuk anak autis. Tapi saat aku tahu bahwa adikku autis, kedua orang tua sudah tiada. Aku berjuang sendiri untuk terapi itu. Karena aku tak ada waktu untuk antar jemput Harun terapi di rumah sakit meskipun aku sempat mendengar ada terapi gratis untuk autis. Aku yakin bisa mendampingi Harun meski berat. Aku harus bekerja untuk biaya sekolah dan belajarku meski autodidak saja. Khususnya, untuk kebutuhan sehari-hari kami juga. Karena Harun juga harus makan makanan yang spesial. Diet sehat untuk anak autis. Ga sembarang makanan yang bisa ia makan.
Aku memandangnya hingga ia memasuki kelas dengan tatapan nanar. Maafkan kakak karena belum bisa membahagiakanmu, dek. Dan masalah sekolah yang seharusnya di sekolah khusus, tunggu ya. One day, I will send you there. Karena, letak sekolahnya tak searah dari rumah kita dan tempat kerja kakak. Tunggu kakak sampai bisa mengatur kerjaan kakak. One day, you will be a great man. Trust me.
Tak terasa air matakupun menetes di atas permukaan kulit lenganku. Hanya berharap dan berdoa agar Harun baik-baik saja di sini. Diterima oleh teman-temannya meski tak mudah. Mungkin bagi mereka, Harun anak yang aneh. Bahkan teman-temannya di rumah, tak sedikit yang memanggilnya gila. Adikku bukan gila. Lihatlah nanti, akan ku buktikan. Pasti ku buktikan. Harun bisa jadi anak yang cerdas melebihi mereka yang menghinanya.
“Assalamualaikum Kak Rere. Selamat pagi.” Terdengar suara merdu perempuan yang tak asing di telinga.
“Wa’alaikumsalam. Eh, bu guru. Mohon maaf, saya menghalangi jalan, ya.” jawabku tergagap.
“Tidak apa-apa, kak. Sedang memperhatikan Harun?” tanyanya.
“Iya, bu. Entah kenapa perasaan saya ga enak.”
“Insya Allah Harun tidak akan ada apa-apa.” Jawabnya meyakinkanku. Karena memang ada perasaan aneh sejak pagi tadi keluar dari rumah.
“Perkembangan Harun bagaimana, bu?”
“Alhamdulillah Harun banyak perkembangan. Sudah tidak melamun lagi, tidak menyendiri, sudah aktif belajar dan sudah mulai bisa berinteraksi dengan beberapa teman. Biasanya sehari-hari hanya bergaul dengan Ilham saja. Harun memiliki kakak yang luar biasa.”
“Bukan, bu. Karena Harun dididik oleh guru yang tepat. Dan memahami kondisi Harun.”
“Kita sama-sama support Harun agar bisa sesuai harapan kita, dan cita-citanya untuk bisa jadi TNI. Cita-cita yang amat mulia.”
“TNI? Harun tidak pernah cerita ke saya kalau dia ingin jadi TNI. Subhanallah berarti Harun terbuka sekali dengan ibu. Terima kasih banyak atas bimbingannya.”
Aku merasa bahagia mendengarnya.
“Sepertinya, Harun tidak ingin kakaknya tahu cita-citanya.” Dan raut wajah Bu Aida mulai serius.
“Bagaimana bisa begitu, bu?” tanyaku sedikit shock.
“Kebetulan, kak. Saya juga ingin berbicara dengan Kak Rere mengenai hal ini. Mari ikut ke kantor sebentar.” Bu Aida mempersilahkan untuk mengikutinya. Dan mempersilahkanku duduk di salah satu kursi ruang guru.
“Ketika itu, sedang berlangsung pelajaran Bahasa Indonesia tentang cita-cita. Dia bilang ingin jadi polisi. Lalu berubah menjadi TNI. Dan mohon maaf, sempat terjadi perkelahian dengan salah satu temannya di kelas.” lanjutnya.
Pernyataan Bu Aida membuatku terkejut bukan kepalang. Biasanya, adek ku ini selalu cerita dan terbuka, meski kadang seperti orang bingung dalam mengungkapkan kecemasannya. Dan dia tak pernah bercerita tentang cita-citanya menjadi TNI. Dan, ada masalah apa sehingga wajah Bu Aida serius begitu? Harun sudah berbuat apa di kelas? Ada masalah apa dengan teman-temannya? Dan yang ku tahu, percakapan kami tak terhenti sampai disini.







   3            Tantrum

(POV Bu Aida)
Saat itu, hingga terjadi keributan besar, saya tidak di tempat. Saya sedang menemui wali murid di kantor. Awalnya, seperti biasa, saya berkeliling, dan melihat Harun sedang menggambar seorang polisi. Saya tidak memaksakan Harun supaya harus ikut menulis essay seperti teman-temannya yang lain. Dengan gambar warna warnipun tak apa asal pesannya tersampaikan. Sempat saya tanya saat itu,
“Kenapa ingin jadi polisi, Harun?”
“Ini untuk kakak. Ada orang jahat, ada penjahat.”
“Ada penjahat?” tanya saya, tapi Harun hanya mengangguk.
Tiba-tiba Harun merobek kertasnya dan dibuang di tempat sampah sebelah tempat duduknya. Sehari-harinya, Harun saya dudukkan di bangku paling depan agar mudah mengontrolnya. Dan saat itu, ia terlihat emosi karena ia gagal menggambar dengan benar. Segera saya berusaha untuk menenangkannya dengan tidak menanyakan alasan kenapa terlihat marah. Setelah tenang, saya berkeliling kelas melihat karya siswa yang lain sembari memberikan waktu bagi Harun untuk menuangkan ide-idenya lagi lewat gambar.
Ketika tiba di bangku Harun kembali, meski kurang jelas, tampak sekali bahwa yang dia gambar adalah sosok TNI yang gagah. Sayapun mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Jadinya, cita-cita Harun polisi apa tentara ya?”
“Tentara, bu.”
“Kan polisi juga hebat, sayang.” ujarku.
“Iya, Ayun pingin menjadi polisi. Tapi tak mau warnanya. Warna baju tentara bagus. Warna warni.”
Saya lupa bahwa Harun menyukai objek yang warna-warni. Namun, ada satu pertanyaan yang menggelitik hati.
“Ada yang jahat sama kakak?” Dan Harun hanya menganggukkan kepalanya saja.
Saya melihat gambar seorang tentara berbaju loreng dengan perpaduan warna hijau tua, hijau muda, cokelat kemerahan, sedikit warna merah gelap dan bertopi warna merah berdiri dengan gagahnya sambil menggandeng seorang perempuan berambut panjang bertuliskan kakak di bawahnya. Setelah itu, ada yang mengetuk pintu kelas dan masuklah ibu wakil kepala sekolah, Bu Gina, yang menyampaikan ada tamu di kantor, sedang kelas digantikan oleh beliau. Sayapun segera ke kantor dan menemui tamu. Ketika saya kembali, kelas sudah gaduh dan Bu Gina kewalahan menenangkan Harun. Harun mengacak-acak bangku dan memukuli Rizky.
Suasana begitu kacau. Harun yang sedang mengamuk, mengacak-acak bangku lagi,  Rizky yang sedang menangis di belakang kelas, Ilham yang tampak bingung dan tak berani mendekat ke arah Harun, teman-teman perempuannya histeris, sedangkan teman yang laki-laki lainnya bersorak ke arah Harun dan membuatnya semakin dalam dengan kondisi tantrumnya.
“Harun... Harun... Hentikan sayang. Dengarkan ibu.”
“Jangan ganggu kakak Ayun. Jangan jahat. Jangan jahat. Ayun benci orang jahat. Penjahat...!!!”
“Tidak ada yang jahat, Run. Tenanglah.”
Harun makin tak terkendali dengan mata yang membelalak memukuli bangku dan dinding kelas. Lengan sayapun tak luput dari hantamannya. Ia makin merancau dengan kalimat-kalimat ‘penjahat’ yang saya tak mengerti sama sekali. Apapun yang ia sentuh, dipukul. Dan itu terjadi selama beberapa menit.
Jujur, saya bingung sekali. Seketika itu pula saya ingat pesan Kak Rere, “menyanyilah”. Maka sayapun menyanyikan lagu[9] kesukaan Harun yang sering dinyanyikan bersama di rumah. Dan seketika itu juga, amarahnya terhenti. Dia menatap ke arah saya tajam. Sayapun mengulangi lagu itu sampai ia tenang, dan menghentikan memukulkan tangannya ke dinding.
Denganmu, tenang
Tak terpikir dunia ini
Karenamu, tenang
Semua khayal seakan kenyataan
Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi telah menghanyutkanku
Mimpiku sempurna
Tak seperti orang biasa
Karenamu, tenang
Semua khayal seakan kenyataan
Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi tak menghanyutkanku
Mimpiku sempurna
Tak seperti orang biasa
Aku berbeda
Aku berbeda
Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi telah menghanyutkanku
Mimpiku sempurna
Tak seperti orang biasa

Harun terus menatap ke arah saya. Sayapun makin mendekat, mendekat dan makin dekat. Lalu segera meraih tangan yang penuh luka itu dan mengobatinya di UKS. Saya memanggil Ilham dan menanyainya awal masalah hingga ia menyaksikan semuanya. Harun yang hanya diam dan telah tenang, sedang duduk di atas kasur UKS, meski masih tergambar kecemasan di wajahnya. Bahkan ada orang jahat yang ingin mencelakai kakaknya. Saya meminta Ilham berdiri di sebelah saya agar tetap bisa mengawasi Harun di sisi lain.
“Apa yang terjadi, Ham?”
“Tadi, ketika Harun hampir selesai mengerjakan, dia diganggu Rizky, bu. Harun sudah selesai menggambar, dan menuliskan kata-kata di bawah gambar. Tapi Rizky merebut gambar itu. Terus mereka rebutan gambar, dan gambar itu jadi rusak. Lalu, Harun marah besar setelah Rizky bilang, gambar kamu jelek, kakak kamu juga jelek. Apalagi warnanya jelek. Pelajaran menulis kok malah nggambar[10]. Jelek ngono[11].” ucap Ilham menjelaskan.
Saya menghela nafas panjang-panjang saat itu. Ilhampun kembali ke kelas melanjutkan pelajaran berikutnya. Tinggal saya dan Harun di ruangan itu. Saya masih berharap, akan ada banyak kalimat yang keluar dari ucapannya.
“Harun, maafkan ibu. Bisa dijelaskan ini ada apa?”
“Ada yang jahat sama kakak. Ayun ga mau ada yang jahat lagi. Ada banyak yang jahat. Tapi sudah ga boleh lagi jahat sama kakak. Ada Ayun. Kakak ga boleh tahu. Ga boleh bertemu.”
“Siapa Harun? Ibu ga boleh tahu?”
“Jangan, kasihan kakak. Kakak ga boleh tahu.”
Ucapan Harun meninggalkan banyak sekali pertanyaan. Namun, tak mungkin saya paksakan ia untuk bercerita tentang apa yang ada dalam hatinya saat ini.



   4            Aku Disini

Aku tak bisa berhenti menangis mendengar cerita Bu Aida.
“Sampai saat ini, saya tak mampu membuat Harun berbicara masalah orang jahat itu. Semoga Kak Rere dan Harun baik-baik saja. Dan ini, karya Harun yang sudah saya perbaiki. Maaf, kak. Kalau sedikit tidak rapi.” lanjutnya menjelaskan.
Dan air mata ini makin deras mengalir setelah membaca tulisan Harun di bawah gambar TNI dan kakaknya.
Hanya Ayun yang bisa menjaga Kakak Rere. Ga boleh ada yang jahat lagi.

“Ini tentang peristiwa beberapa tahun lalu, bu. Dan memang ini hanya jadi rahasia kami berdua saja. Yang saya takutkan, peristiwa itu mempengaruhi kondisi emosi dan mentalnya. Semua ini salah saya, jadi saya harus menjaganya dengan baik. Saya tidak akan membiarkan masa lalu saya mempengaruhinya. Insya Allah kami akan baik-baik saja. Terima kasih banyak atas cinta dan perhatian ibu untuk Harun.”
“Sama-sama, kak. Baiklah jika Kakaknya Harun merasa semua akan baik-baik saja.”
“Lalu bagaimana dengan orang tua Rizky atas sikap adek saya, bu? Saya ingin meminta maaf.”
“Ibu Rizky kemarin menyatakan tidak apa-apa. Beliau menganggap ini semua karena kesalahan anaknya juga. Dan beliau memahami kondisi Harun. Kebetulan beliau adalah salah satu guru disini, Ibu Raya. Tapi jika kak Rere ingin meminta maaf, saya akan mempertemukan kakak dengan beliau. Kebetulan juga, saat ini beliau sedang kosong.”
“Baik, Bu Aida.”
“Sebaiknya, kita ke ruangan beliau.”
“Nggih.”
Sesampainya di ruangan Bu Raya, jantungku berdebar-debar. Aku sempat melihat dua ibu guru ini bercakap-cakap dan melihat ke arahku.
“Silahkan duduk, Mbak Rere.” Bu Raya mempersilahkanku tuk duduk.
“Iya, mbak. Kalau boleh saya tahu, ada apa nggih?” tanya Bu Raya mengawali percakapan kami.
“Ngapunten sanget. Saya ingin mohon maaf yang sebesar-besarnya atas sikap adik saya, Harun kelas 4, siswa Bu Aida kemarin lusa. Sekali lagi, saya mohon maaf, bu.” Pinta ku untuk sebuah maaf yang mungkin terlambat.
“Oh, itu. Tangan Rizky tidak apa-apa kok, mbak. Hanya sedikit memar. Saya tidak menyalahkan Harun, karena anak saya yang memulai. Saya juga memahami kondisi Harun. Justru saya yang meminta maaf ke mbaknya atas sikap anak saya, Rizky tempo hari.” Jawaban Bu Raya membuatku lega dan feel amaze dengan tanggapan beliau.
“Alhamdulillah, bu. Terima kasih sekali atas pengertiannya.”
Percakapan kamipun berlanjut di ruangan itu. Di ruang Bu Raya yang saat itu menjabat sebagai guru BP di sekolah Harun. Sungguh Harun beruntung sekali. Ketika ia menghadapi sebuah masalah, masalah itu tak berlarut-larut sehingga tidak  membuatnya makin tertekan dengan keadaannya. Karena sungguh, Harun sering mendapatkan perlakuan tak adil dari beberapa orang di sekitarnya. Ini yang membuatku harus benar-benar menjaganya.
Akupun belum terfikir untuk menerima hati manapun untuk kami menjalin hubungan asmara. Siapapun nanti yang mencintaiku, aku ingin dia tahu bahwa aku tak ingin pacaran. Jika dia sudah siap, langsung saja melamar dan menikahiku. Dengan syarat, ia harus bisa menerima Harun dengan segala kondisinya, dan menyayanginya. Dan aku rasa, sampai saat ini, hanya si Hilman yang mampu.
Aku segera melangkahkan kakiku ke luar sekolah karena aku harus bekerja. Ku percayakan Harun kepada guru-gurunya. Karena ia berada di tangan yang tepat. Bu Aida adalah lulusan Psikologi dan PGSD dari kampus ternama. Alhamdulillah, Allah selalu mempermudah langkah demi langkah milik Harun. Namun ada satu ucapan Bu Raya. Sebaiknya Harun sekolah di tempat yang lebih tepat. Sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, ya... khusus autis. Tapi aku yang belum mampu. Tempat kerjaku dan sekolah itu jauh. Itupun tak searah. Antara ujung utara dan ujung selatan.
Jika hanya mengandalkan bekerja di rumah, uang tabunganku tak kan cukup untuk bisa menyekolahkan Harun sampai ia kuliah. Aku yakin dia mampu. Harun pasti sanggup. Matematikanya cerdas. Dia mampu belajar matematika hanya dari buku yang ku belikan. Ingatan tentang angka-angka kuat. Andai aku bisa membimbing lebih jauh. Ah, biarlah Allah yang membimbing langkah kami.
Aku berhenti mengayuh sepedaku. Karena ternyata telah sampai di toko Pak Andre. Beberapa pemandangan baru dari toko dan kedai Pak Andre-pun terpampang asing. Toko ini jadi lebih indah. Ada banyak perubahan selama aku ga ada. Dan, ada pegawai baru. Hatiku mulai tak karuan.
“Hai, Re. Pak Andre nunggu kamu di toko.” Kata Lia, teman kerjaku. Tapi dia di kedai, sedang aku bekerja di tokonya.
“Oh, iya.” Jawabku.
Ku langkahkan ke meja Pak Andre di dalam toko. Toko ini jual alat-alat masak dan toko kue. Sedang sebelahnya, kedai makanan yang dikelola Pak Andre juga. Aku merasa, ini hari terakhirku bekerja. Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Dan tak terasa sudah sampai ke meja Pak Andre.
“Hey, Rere. Sudah masuk kerja lagi, tho. Bapak pingin ngomong sama kamu.”
“I... Iya pak.”
“Ga usah tegang kenapa, Re. Bapak sempat berpesan ke anak-anak, kalo liat Rere masuk, suruh ke meja bapak. Tahu ga, kenapa Rere bapak panggil kesini?” tanya beliau sambil menatap mataku dalam-dalam.
Ya Allah, jadi ga karuan pikiranku. Sepertinya, Pak Andre mau memecatku setelah seminggu ga kerja. Aku maklum jika Pak Andre harus mencari penggantiku. Secara, toko dan kedai Pak Andre selalu rame karena murah dan barangnya bagus. Makanan yang dijualpun enak dan ga mahal-mahal banget. Makanya sering rame.
Pak Andre tiba-tiba berdiri dan mendekat melihatku menunduk dan hampir menangis. Aku tak tahu lagi seandainya posisiku digantikan anak baru itu, dan sampai disini masa kerjaku dengan Pak Andre. Aku tak bisa menyalahkan keputusannya. Karena ia berbisnis. Dan karyawan seperti aku tak bisa membantu banyak. Kerja hanya 7 jam tiap hari, Minggu aku libur sedang Pak Andre tetap buka. Dan terakhir, aku tak masuk kerja 6 hari. Akupun terhenyak dari lamunanku tatkala lengan kekarnya Pak Andre menepuk bahuku.
“Aku memanggilmu kesini karena memecatmu dari pekerjaanmu yang dulu.” ucapnya. Dan seketika itupun juga, tubuhku lemas dan mulai menangis.
“Kenapa kamu menangis? Ga usah menangis. Tak ada gunanya kamu menangis Rere sayang.” Dan dengan wajahnya yang bersahaja itu, Pak Andre malah tertawa ngakak seolah puas mengerjaiku.
“Bapak memang memecatmu dari pekerjaan lama. Ada keponakan ibu yang butuh pekerjaan. Jadi posisimu bapak gantikan ke dia, hitung-hitung ngganjo[12] dirimu selama seminggu ga masuk kemarin. Berhenti nangis. Bapak ga kan mungkin memecatmu begitu aja karena kerjamu bagus selama 2 tahun ikut bapak, dan sudah seperti anak. Bapak punya pekerjaan baru buat kamu, dan semoga cocok dengan watakmu yang banyak tingkah, lincah dan berjiwa liar itu.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Pekerjaan baru apa itu, Pak?” tanyaku.
“Ibu, buka catering juga selain kedai makanan dan kami melayani pesan antar. Butuh kurir pengantar pesanan. Selain dapat gaji dari kami, uang kurir masuk kantongmu sendiri. Syukur-syukur ada pelanggan yang ngasih tips. Kalo kamu mau sih, Re. Kalo ga mau, adek bapak, yang kamu panggil koko gendut itu, selain buka toko elektrik, sekarang buka toko majalah, koran, tabloid, dan melayani mereka yang ingin berlangganan. Kamu akan bapak kasih fasilitas motor dan boleh kamu pakai untuk kepentingan pribadi, jika kamu ada keperluan. Jika itu penting, pakai saja. Asal kamu jaga dan kamu rawat itu motor matic. Gimana? Kalau ga mau dua-duanya, koko carikan solusi lain.”
“Kalo Rere ambil dua-duanya boleh? Paginya, sebelum kesini, sambil ngantar Harun sekolah, saya jd loper korannya koko. Jadi papper girl[13].” tawaku terkekeh.
“Ah, kamu. Kerja keras boleh aja, Re. Tapi ingat tenaga dan kesehatan.”
“Bismillah, Pak. Rere akan atur waktunya.” Jawabku yakin banget.
“Ya udah kalo gitu. Kamu bisa kerja mulai hari ini. Ibu ada di kedai. Samperin sana.”
“Okey, bapak ganteng pujaan hatiku.” Ucapku sedikit usil dan tertawa sambil berlalu.
“Dasar gadis liar. Eh, cepet urus SIM, ntar ketangkep polisi, bapak ga mau nebus ya. Ditambah  sukanya habisin makanan di kulkas pula. Kalo tambah gendut, bikin repot pak polisi ntar. Itu penjara ga bakal muat sama bodymu doang.” Dan tawa Pak Andrepun menggelegar dari dalam toko. Ah, bapak bisa aja.
Langkahku makin ringan, mungkin penghasilanku lebih banyak sekarang. Dengan waktu kerja yang sama. Ah, bapak emang paling tahu kesukaanku. Kerja lapangan, di jalanan. Bersama angin dan udara khas milikku. Yang masuk ke dalam paru-paru otomatis sudah jadi milikku kan? Auto sehat dan istimewa, asli anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.




   5            Cukup !

Hari ini, Kamis, hanya sebagai loper koran saja. Karena semua toko tutup. Ada family Pak Andre yang meninggal dunia di Surabaya. Jadi, setelah ngeloper, aku mau kerja yang lain di sekitaran Sidoarjo saja. Dari Gading Fajar, GOR, NTB. Ada cerita menarik tentang sebutan NTB ini. Orang sini memberikan julukan NTB, singkatan dari Ndisor Tol Buduran, artinya di bawah jembatan layang Buduran. Seharusnya disebut jembatan atau jalan layang, bukan tol. Yah, namanya singkatan, kadang dipas-pasin. Ato mungkin memang karena faktor pemahaman yang kurang pas. Jembatan layang dianggap sama sebutannya dengan tol. Padahal bukan.
Melewati jembatan ini, aku langsung meluncur ke daerah Delta Sari, Waru. Pinginnya sih, mau kerja ke Pak Faqih, tetanggaku.
“Assalamu’alaikum, Pak Faqih.” Mendadak aku muncul di hadapan beliau.
“Wa’alaikumsalam. Eh, Nak Rere kesini.”
“Iya, pak. Mau bantu-bantu bapak disini.” Sambil pasang muka melas dikit.
“Boleh... boleh... Emangnya Nak Rere ga kerja hari ini?”
“Libur, pak.”
“Oh, ya udah. Bantu anak buah bapak nyuci mobil mau? Karena dia, mau bapak suruh nganter mobil ke salah satu langganan.” Sahut Pak Faqih.
“Baik pak. Mau sekali.” Jawabku.
Beliaupun memberikan alat-alat nyuci dan selang airnya. Aku sesekali bantu Pak Faqih nyuci mobil atau motor disini. Beliau baik hati sekali. Sering bantu aku dan Harun di rumah. Kebetulan, anaknya laki-laki semua. Ga ada yang cewek. Jadi sudah deket seperti keluarga. Entah karunia apa yang Allah berikan untuk kami. Tak punya orang tua, tapi dikelilingi oleh orang-orang yang berjiwa malaikat.
Sesekali aku main air dan sampo mobil. Dan sengaja membiarkan badanku terkena semprotan air si Sadikin, partner nyuciku. Dan Pak Faqihpun tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.
“Sudah selesai, nak?” tanya Pak Faqih.
“Sudah pak.”
“Ini mobil yang ke berapa, nak?”
“Lima, pak.”
“Kalau gitu, nak Rere tunggu di sini ya. Bapak mau ngantar mobil yang ini ke pelanggan. Dah sore, bentar lagi mau tutup. Si Firman belum kembali ngantar mobil.”
“Hah, dari tadi belum balik pak?” tanyaku heran.
“Bukan, beberapa menit yang lalu, bapak suruh dia nganter mobil lagi.”
“Oooohh...” jawabku.
“Eh, pak. Biar saya saja yang nganter ke pelanggan bapak. Bapak istirahat ya. Jangan capek-capek? Bapak kan baru sembuh dari sakit liver.” lanjutku.
“Nak Rere ga apa-apa nganterin mobil? Kan dah lama Nak Rere ga nyetir mobil.” tanyanya heran.
“Saya masih hafal sekali kok pak. Baru minggu kemarin saya bawa mobil ke Surabaya. Bapak disini aja. Jangan banyak-banyak aktifitas.” Jawabku.
“Ya udah kalau gitu. Nak Rere mandi dulu, sholat, lalu antarkan mobilnya.” pinta Pak Faqih.
“Nggih, pak.” sahutku.
Setelah melaksanakan titah si bapak, akupun mengantar mobil Outlander sport ini ke alamat kantor yang kebetulan tak jauh-jauh amat dari tempat cuci mobil Pak Faqih. Ah, jadi ingat mobil ayah dulu.
Sesampainya di resepsionis kantor, saya langsung menanyakan Bapak Andi.
“Oh, tadi sudah dipeseni sama Pak Andi. Mbaknya langsung ke kantor saja sekalian ambil uangnya. Lurus saja, lalu belok kanan. Ruang Pak Andi di sebelah kiri, ada papan namanya.” Ungkap mbak resepsionis.
“Baik mbak.” Jawabku.
Pintupun ku ketuk perlahan. Dan terdengar sebuah jawaban dari dalam ruangan.
“Silahkan masuk.”
Begitu ku buka pintu, seorang laki-laki muda, kira-kira usianya lebih tua dariku beberapa tahun. Dan wajahnya tak asing. Aku seperti pernah melihatnya. Tapi, aku lupa. Mungkin perasaanku saja. Karena, terlihat jelas bahwa dia tak mengenalku.
“Maaf, pak. Saya mengantar mobil bapak dari Pak Faqih. Sekalian mengantar tagihannya.” Ujarku menyampaikan seperti ucapan Pak Faqih tadi. Karena baru pertama kali ini aku mengantar mobil pelanggan.
“Oh, ya. Sebentar ya mbak. Dompet saya tertinggal di mobil yang mbak cuci. Saya ambil dulu.” Dan iapun memberi isyarat untuk menunggunya sebentar. Ia berdiri sambil tersenyum ramah ke arahku lalu menuju pintu kamar mandi. Namun ekspresi wajahnya seperti terkejut ketika melihatku masuk.
Lucunya, dompetnya ketinggalan di mobil yang ku cuci? Mbulet ae dong jadinya. Akupun membalas senyum ke arahnya.
“Jon, gue tinggal ke mobil sebentar ambil dompet. Loe tunggu disini sampe gue balik ya. Dan ya, jangan isengin pengantar mobil gue. Awas ya.” Ucapnya. Sepertinya ada orang di dalam kamar mandi.
“Mbak, nanti kalau yang di dalam kamar mandi keluar, hati-hati ya. Dia pemburu wanita.” Selorohnya sambil tertawa dan berlalu pergi.
Ah, Pak Andi bisa saja. Dan, tak begitu lama, keluar seorang lelaki memakai jas biru dan berdasi hitam bergaris biru dari dalam kamar mandi, dan membuat tubuhku seperti mati lemas. Aku tak mampu menguasai emosiku. Ya Tuhan, aku... aku ingin keluar dan lari dari ruangan itu, lari secepatnya, tapi akal sehatku masih bekerja. Ada amanah Pak Faqih di situ. Ya Allah, kuatkan aku. Lindungi aku. Semoga ia melupakanku, dan tak lagi mengingatku. Meski aku tak kan pernah melupakannya sampai kapanpun.
“Hei, ada wanita cantik di sini.” Ucapannya yang membuatku ingin makin berlari.
“Tunggu, sepertinya aku mengenalmu.” Dia memutariku dan mengamati tiap jengkal tubuhku. Isi dadaku seperti ingin meledak. Tapi aku harus tahan agar tidak sampai menangis. Aku harus kuat. Jangan nangis, Re. Tahaaaaaaaan... .
“Kamu... Aretha?” dia menyebut namaku. Aku terkejut sekali. Ternyata, dia masih mengingatku. Aku tak mau dia menyebut namaku lagi. Aku tak boleh lemah. Aku harus kuat.
“Ya, kamu Aretha tersayang. Dan aku... masih mengingat jelas bau tubuhmu. Saat itu kamu cantik, dan aku ingin mengulanginya lagi.” Bisiknya dan ia mulai menyentuh bahuku.
“Kamu gila...!” aku tak tahan lagi, aku harus pergi. Aku tak mau di sini. Tapi tanganku digenggam erat olehnya, erat sekali. Dan tubuhku hampir terpental akibat tenagaku yang ingin berlari kencang, dengan pegangan tangannya yang kuat. Badannya kini cukup kekar untuk membuat tubuhku terjatuh ke lantai. Dan itu membuatku beneran hampir terjatuh, hingga iapun menangkap dan memeluk tubuhku. Tatapan matanya dalam ke arah mataku. Dalam sekali, amat dalam. Dan dia... dia berusaha menciumku.
Plaaaaakkk... tamparan keraspun melayang ke arah wajahnya. Rupanya itu membuatnya marah besar, dan mendorong tubuhku ke arah dinding. Ia mengunci tubuhku hingga tak bisa bergerak.
“Kau lupa. Saat itu aku membawa kamera dan merekammu. Kamu dulu mencintaiku. Maafkan jika aku memanfaatkan kepolosanmu, Tha. Tapi jika kamu masih mengingat seberapa bajingannya aku, saat ini aku masih sama. Dan bahkan jauh lebih bajingan. Dan jika kamu tak menuruti kemauanku, rekaman itu akan ku sebarkan ke dunia maya. Kamu harus ingat juga, aku bisa posting tanpa terlacak siapapun. Kamu ga bisa melaporkanku juga. Ada nama baikmu disitu.” Sergahnya. Menatapku makin mendekat, hingga nafas segarnya tercium olehku.
“Apa maumu?” tanyaku.
“Kamu tahu Andi tadi kan? Sampai saat ini, dia belum pernah menyentuh wanita. Dia sahabatku. Besok malam, kamu datang ke apartemenku, tak terlalu jauh dari sini. Datang lebih awal, layani aku. Agar kamu mengingat dengan benar saat-saat kamu melayani aku dulu. Dan buat si Andi mengerti sentuhan wanita, setelahnya.” ucapnya dengan wajah bajingannya.
“Kamu gila. Aku ga akan mau. Pergi kamu ke neraka! Sebarkan video itu, aku tak peduli. Lebih baik aku mati daripada harus menuruti kegilaanmu.”
Aku tak sanggup menahan emosiku. Cukup... cukup...! Aku meronta, terus meronta  dan berontak dari dekapannya.
“Berhenti meronta! Jika kau tak bisa tenang, akan aku suruh anak buahku di daerah Lingkar Timur untuk mencari adikmu yang cacat itu sekarang juga. Kamu pikir aku ga tau dimana dia sekolah? Diamlah! Aku tahu dia kelemahanmu. Kau tak kan menolakku lagi setelah ini. Dan jangan coba-coba untuk pergi. Karena video yang akan ku sebarkan ini juga pasti akan ditonton adikmu. Atau... adikmu itu aku manfaatkan juga. Masih mau mati? Tak mau mengajak adikmu juga hah!?” ancamnya.
Apa? Dia mengancamku. Dia mengancamku dengan menggunakan Harun. Dia tahu dimana posisi Harun sekarang. Itu artinya, ia telah melihat adikku. Itulah kenapa ia terpicu untuk tantrum saat itu di sekolahnya. Tidak... tidak, dia tidak boleh menyakiti Harun. Tidak...!!!!

“Pegang alamat ini. Datanglah besok malam, jam 8. Jika kau tak datang, bersiap-siaplah untuk hancur.” Perintahnya sambil memaksa tanganku tuk menggenggam kartu alamat dr sakunya, tapi masih tetap menghimpit tubuhku ke arah tembok.
“Kamu jahat! Aku benci kamu, Gas! Semoga Allah menyadarkanmu!” teriakku tak terima diperlakukan seperti itu.
Dan seketika itu juga, ia melayangkan sebuah ciuman ke arahku. Makin aku berontak, makin dia memegang erat tubuhku. Dan dia makin berusaha menciumku. Aku hanya bisa menangis karena perlakuannya yang membabi buta. Akhirnya aku menjambak rambutnya dengan keras, dan spontan dia melepas dekapannya, yang membuatku leluasa kabur darinya. Aku lari dari ruangan yang membuat dadaku penuh sesak dan terbakar amarah.
Aku tak sadar jika di depanku ada orang dan bertabrakan dari balik pintu.
Braaakkk....
“Aduh.” Suara seseorang yang ku tabrak dengan keras. Ia mengaduh dengan keras pula. Ternyata yang ku tabrak adalah Pak Andi. Aku tak peduli, aku ingin berlari. Tapi Pak Andi mecegahku.
“Tunggu, ini uang Pak Faqih. Tolong sampaikan.” Ungkapnya.
Belum lagi ia sempat bertanya, aku langsung pergi begitu saja setelah menerima uangnya tanpa mengucapkan apapun. Aku terus berlari, berlari dan terus berlari ke tempat Pak Faqih. Aku tinggalkan tempat itu jauh dan makin jauh. Laki-laki gila itu terus memenuhi pikiranku. Air mataku tak bisa berhenti. Belokan demi belokan kawasan perumahan dan perkantoran itu terlewati begitu saja. Aku hanya ingin menjauh dari tempat itu. Aku tak tahu harus bagaimana. Ini terlalu mengganggu pikiranku.
Sesampainya di tempat Pak Faqih, ternyata tempat sudah sepi. Tinggal Firman, orang kepercayaan beliau. Ku serahkan pembayaran mobil Pak Andi. Ia sempat bertanya kenapa aku menangis. Akupun menjawab sekenanya sambil tertawa, perut sedang sakit, lagi PMS dan ingin segera pulang. Dan iapun percaya. Padahal aku ingin menertawakan diriku sendiri. Aku pantas ditertawai. Sungguh pantas.
Aku tak mampu berpikir jernih. Ku lajukan motor ini dengan kencang agar bisa lekas sampai rumah. Aku berteriak tak jelas dari balik helmku, hanya sekedar meluapkan emosi yang tak terkendali.
Motor makin kencang melaju. Aku memang sedang marah, aku memang sedang emosi. Tapi aku harus tetap mampu mengendalikan diri di jalan raya ini. Aku ingin segera sampai rumah. Dan menangis sekencang-kencangnya. Mumpung Harun tak di rumah. Ia sedang Persami di sekolahnya. Harun tak boleh melihat ini.
Ketika mulai melewati kawasan Sidoarjo kota, aku ingin menelpon sahabatku, Hilman. Aku ingin menangis di bahunya. Aku ingin menceritakan semua dan mohon pertolongan. Karena, hanya dia yang bisa kuandalkan saat ini. Aku tak punya siapa-siapa untukku bersandar. Tapi, pandangan mata ini justru menangkap sosok yang tak asing buatku. Iya, dia adalah Hilman. Tapi, sedang apa dia di depan hotel sambil bertengkar dengan seorang wanita? Ku hentikan motorku, sambil mengamatinya dari seberang jalan. Dan... berkali-kali Hilman mencoba memeluk gadis itu, tapi pelukannya dicampakkan, mendorong tubuh Hilman sambil memaki-makinya entah dengan kata apa. Ini tidak mungkin. Kenapa aku merasa sakit sekali? Siapa gadis itu? Entah perasaan apa ini. Dan aku rasa, Hilman tak melihatku. Akupun melanjutkan pergi ke rumah, agar segera bisa menangis sejadi-jadinya. Allah, aku tak percaya ini.
Malam itu, aku tak bisa mengerjakan apa-apa. Aku hanya menangis dan menangis diatas sajadah bunda. Tangisku makin keras ketika aku mengingat ayah dan bundaku. Ya Allah, berikan petunjukMu. Bagaimana harus bersikap. Beri petunjukMu Ya Allah. Dan mohon... pinjamkan sedikit waktu mereka untukku. Sebentar saja. Ijinkan aku menangis di pelukan mereka. Jika tak boleh, ijinkan aku meminjam waktu ayah untukku. Agar ayah saja yang cerita ke bunda tentang hidup ku, tentang air mata yang menjadi saksi luka-luka ini.
Aku yakin bunda tak kan kuat mendengar ini. Dan aku yakin, hanya ayah satu-satunya lelaki yang tak akan menyakitiku. Karena ayah cinta tertulusku, lelaki utamaku. Dia akan selalu melindungiku. Ya Allah, aku sedang rapuh. Tolong pinjamkan. Aku ingin bilang sesuatu ke ayah, tentang sesuatu yang tak pernah ia tahu, yang tak pernah bunda tahu. Bahwa anak mereka ini, anak perempuan satu-satunya, malam itu telah dipaksa minum bir, dan diperkosa laki-laki yang hanya memanfaatkan kepolosan ini, dijadikan budak nafsunya, di malam sebelum ditemukan jenasah ayah dan bunda karena kecelakaan itu. Satu hari sebelum mereka Engkau renggut dariku Ya Allah. Satu hari aku hancur, dan esoknya hatiku lebur menjadi debu. Ayaaaaaaaaahhh... kemarilah... peluk aku, ayah. Ayaaahhh... .
Dan jika Kau tak mengijinkan aku bertemu ayah, mohon hapuskan luka ini Ya Allah, rasa sedih ini, air mata ini. Sembuhkan rasa sakit ini. Ajari aku ikhlas menerima. Ajari aku sabar menghadapi. Dan berikan petunjukMu harus bagaimana aku besok malam. Lalu bagaimana dengan Harun? Siapa yang menjaganya di rumah? Allah, aku harus bagaimana? Bagaimana aku harus menghadapi nafsu laki-laki gila ini? Bagaimana aku bisa menerima, tubuhku dijadikan budak nafsunya lagi, dijamah lagi, digerayangi lagi, dan dipaksa untuk melayani temannya juga? Melayani nafsu dua laki-laki di satu malam dan bergantian. Aku bukan wanita nakal. Aku bukan pelacur Ya Allah... aku bukan wanita penghibur. Ya Allah... tolong aku. Tolooooooooong... dan tangisku-pun makin keras. Tak beda jauh dengan anjing yang melolong di tengah malam yang sepi.
Aku terus merancau dalam doaku. Entah kata-kata apa lagi yang aku ucap. Entah keluh kesah apa lagi yang aku sampaikan. Malam ini aku milikmu Ya Allah, malam ini aku tak mengenal siapapun kecuali Engkau. Dan malam ini aku tak butuh siapapun untuk menolongku kecuali Engkau. Sungguh aku tak butuh siapapun.
Tak terasa, malam makin larut. Dan tak terasa pula, aku tertidur di atas sajadah bundaku. Saksi bisu di setiap air mataku yang mengalir jatuh, dari waktu ke waktu. Aku harus berhenti menangis. Tak boleh lembek. Tetap terlihat indah dan bermanfaat meski kamu tumbuh dengan liar. Dan aku ta boleh lemah. Karena aku, Zerdali.










   6            Karena Aku Sanggup

Waktu telah menunjukkan perputarannya. Dua jam lagi, Harun pulang. Aku harus sampai sekolahnya pukul 10. Dan toko Pak Andre masih tutup. Aku tak ingin kemana-mana. Aku hanya ingin di rumah. Aku hanya takut bertemu dengannya. Ingatanku tak mau melepasku darinya. Sentuhannya, bau nafasnya, bau tubuhnya, dekapannya, kenapa otakku begitu mengingatnya.
“Aaaaahhhh....!!! Pergi kamu dari isi otakku. Pergi...!! Aku langsung kembali ke kamar mandi lagi. Aku guyur isi kepalaku. Aku bersihkan bagian-bagian tubuhku yang disentuhnya kemarin. Entah kenapa aku kembali mengingat malam itu. Malam dimana semua merubah hidupku. Hingga tak sadar, aku mencakar lenganku sendiri. Semua harus bersih. Harus bersih. Tapi kenapa rasa itu tak bisa hilang? Kenapa? Aaaaaaaarrrggghh...!!!”
Aku menatap diriku sendiri lewat cermin di kamar mandi dan berkata pada diri sendiri. Berhentilah menangis, Re. Sebentar lagi kamu harus menjemput Harun. Dan dia tak boleh melihat ini. Tunggu, kamu harus bisa berhenti menangis. Jika biasanya kamu bisa, kali ini kamu  harus bisa. Berhenti nangis, Re. Tak boleh lembek. Zerdali tak boleh tunduk karena rasa sakit. Segera datang menjemput adikmu.
Ayo Zerdali hapus air matamu. Guyur wajah dan tubuhmu sekali lagi, dengan pakaian lengkap yang masih melekat itu. Segarkan wajah lusuh dan kusutmu. Jangan tampakkan wajah sedihmu. Ingat, Harun itu peka terhadapmu. Kasih sayangnya untukmu melebihi sayang untuk dirinya sendiri. Bangkit!
Aku berangkat, naik sepeda ontelku lagi. Beberapa hari tak mengendarainya. Kangen juga. Sejenak perasaanku sudah mulai tenang, meski pikiranku masih carut marut mengenai nanti malam.
Aku melihat adikku yang ganteng sudah menungguku dari jauh. Dia asyik membaca buku diatas bangku putih di depan kelasnya. Wajahnya yang tampan, putih, berhidung mancung, tak nampak di guratan wajahnya sosok anak yang autis. Dan akhirnya diapun tersadar dari dunianya. Tatapannya langsung menuju ke arahku. Segera ia masukkan buku-bukunya, dan berhamburan berlari ke arahku, dan memelukku. Inilah ekspresi ketika ia merindukanku. Kamipun bergegas pulang dan kangen-kangenan di rumah.
Hari sudah masuk waktu sore. Hati semakin gelisah. Harun masih terlelap dalam tidurnya. Dari balik pintu, terdengar ketukan pintu tanpa suara salam ataupun permisi. Tersembul wajah Hilman dari balik pintu membawa bunga kesukaanku. Mawar putih.
“Hey, bunga ini untukmu.” Ujarnya sambil pasang muka tersenyum.
“Semalem kamu sama siapa, Te?” tanyaku langsung menegurnya.
“Belum juga suruh masuk, udah main interogasi aja. Maaf, itu juga yang jadi tujuanku kesini. Aku sempat melihatmu semalam. Tapi sungguh, itu semua tak seperti yang kamu lihat. Dia adikku.” Jawabnya dengan muka tertunduk.
“Adik? Kenapa kau tak pernah cerita kalau kau punya adik? Lalu, kenapa ada di depan hotel?” protesku padanya.
“Itu kebetulan aja lewat situ. Awalnya dia aku bonceng. Ketika aku mulai menanyakan tentang sesuatu, dia marah dan turun dari motor. Dia merasa aku terlalu ikut campur dan mempersulit hidupnya. Padahal aku mencoba selalu ada untuknya. Maaf jika akhir-akhir ini aku jarang mengunjungimu dan Harun. Dan masalah kenapa aku tak cerita, itu sama dengan kamu. Ada beberapa hal yang tak mungkin kita ceritakan untuk sementara waktu. Tapi aku janji, jika masalahku selesai, aku akan ceritakan ke kamu, Mblem.” Ungkapnya mencoba menjelaskan.
Terlihat jelas di wajahnya, ia seperti memendam beban yang amat besar.
“Baiklah, aku percaya.” Akupun menyuruhnya masuk.
“Terima kasih sekali, Mblem. Kamu memang sahabatku yang paling ngerti.” Ujarnya lirih. Tetap terlihat jelas bebannya itu.
“Te, apa aku bisa minta tolong malam ini? Tolong tidur sini.”
“Apa? Aku tidur sini? Mau dong. Tapi dihalalin dulu baru kita tidur serumah. Dan, tumben sih neng. Sudah mulai luruh ya, keangkuhan dalam dirimu tentang rasa dan asaku padamu?” selorohnya kepedean. Ku pukul bahunya dengan buku yang ku pegang.
“Aduh, sakit tahu.” Dia mengaduh kesakitan dan sempat-sempatnya nyengir pula. Dih, nih anak.
“Bisa ga sih, dengerin orang ngomong sampe selesai?”
“Iya... iya.”
“Tapi janji ga bakal banyak nanya.”
“Iya. Janji.”
“Aku nitip Harun malam ini. Please, kamu tidur di sini. Ada masalah yang harus aku selesaikan. Dan ga tahu bakal pulang jam berapa. Atau mungkin ga pulang. Aku bisa nyari penginapan di dekat sana.”
“Apa? Masalah apa? Kemana? Sama siapa? Dan tumben banget kamu pergi tanpa ngajak Harun. Mblem, ada apa? Nilang dong. Cerita aku.” serbuan pertanyaan dihujamkan untukku.
Aku memaklumi reaksinya itu. Karena aku tahu betul kekhawatirannya padaku.
“Bukannya tadi kamu janji untuk tidak banyak nanya?” ujarku mengingatkan.
“Tapi aku khawatir sama kamu, Re. Ini ga biasanya. Ga semua janji itu harus ditepati kalo ini menyangkut keselamatan kamu.” sergahnya serius.
“Aku akan jaga diri. Dan aku janji, jika aku pulang nanti, aku akan cerita semua tentang masalah ini. Kamu ga akan bisa melarangku pergi.”
Dia terpaksa menuruti kemauan kerasku. Karena dia tahu, jika aku menghendaki sesuatu, tak ada seorangpun yang mampu mencegahku. Dia memandangiku hingga menjauh dan menghilang dari tatapan matanya. Aku terus melangkah menyusuri gang kampung menuju jalan raya agar bisa naik kendaraan umum.
Dan kini, aku telah sampai di apartemen milik Bagas. Aku sudah di depan pintu. Aku pencet bel, dan pintupun di buka. Langkah kakipun mantap menuju ruangan itu. Ku saksikan, apartemen ini memiliki view arah timur di lantai 6. Sungguh pemandangan malam yang indah, namun tak seindah isi pikiranku yang liar ini.
Suara seseorang memecahkan ketakjupanku terhadap pemandangan malam ini.
“Rere...!! Kenapa kau bisa di sini? Jon, ini apa? Jangan bilang kalau ... .” Ucap Pak Andi tak percaya. Matanya terbelalak memandangku kaget bukan kepalang. Dan Bagas hanya tertawa ngakak.
“Betul. Sahabat anda, yang kemarin anda bilang perayu wanita, anda benar. Sekarang saya siap merayu anda berdua.” Tatapanku tajam ke arah Pak Andi. Aku tahu dia masih punya kebaikan hati. Aku sengaja menyerang tatapan matanya. Berharap sisi psikologinya bekerja untukku. Meski mungkin gagal.
Blazer panjang yang ku kenakan, mulai ku lepas. Hingga tertinggal kaos dalam singlet warna putih. Ketika aku menyentuh dan akan membuka celana hitam panjangku, lenganku di raih dan badanku ditutupi kembali dengan blazer hitam panjangku oleh Pak Andi.
“Rere, apa-apa’an kamu?!” bentaknya.
“Apa? Memang kenapa pak? Sahabat kesayangan bapak ini yang meminta saya datang kesini untuk melayani anda berdua. Biarkan saya memuaskan nafsunya. Lepaskan saya pak. Karena jika tidak, Harun akan dicelakainya. Lepaskan saya! Lepaskaaannn...”
Amarahku meledak-ledak tak terkendali. Aku mendorong tubuh Pak Andi dengan keras ke lantai. Seketika itu pula, ia kembali berdiri meraih tubuhku, melindungiku agar tak terlihat bentuk badanku. Aku bergulat dan berteriak dengan kencang karenanya.
“Lepaskan pak... lepaskan. Biar dia puas. Sebrengsek apa dia? Setelah memperkosaku di malam sebelum orang tuaku meninggal, dan mencampakkan aku begitu saja tanpa pakaian dalam keadaan tak sadar karena minuman keras. Dia tak hanya memaksaku minum, tapi juga memaksa tubuhku dibawah tubuhnya. Brengseknya dia, dia memperkosaku di hadapan Harun! Biar dia puas, pak. Aku hanya tak ingin dia menyakiti Harun lagi. Setelah ini, aku akan mati. Lepaskan aku pak... lepaskan! Biar dia puas.”
Seolah aku sedang bergulat dengan sosok lelaki yang tangguh, berusaha melindungi tubuhku dari jamahan mata tiap lelaki di ruang itu, sedang aku makin nekat berusaha melepas semua pakaianku.
“Hentikan, Rere...!!”
“Biarkan...!! Ini yang ingin kalian lihat kan? Akan ku berikan. Toh, aku sudah bukan wanita suci lagi. Aku sudah kotor, pak. Jangan khawatir akan mengotoriku. Aku Sudah menjijikkan. Jangan lindungi lagi. Ini tak akan mengembalikan seluruh air mataku tiap malam.”
Aku tak sadar dengan apa yang kuucapkan malam itu. Aku terus merancau dan...
Plaaaaakk....!!!
Dan akupun terjatuh.
Ku saksikan Pak Andi memelukku erat. Erat sekali. Entah rasa apa ini. Aku tak percaya dengan apa yang ku lihat. Dia begini karena ingin melindungiku, ataukah ingin menindih tubuhku juga?
“Sadar kamu. Hentikan, Re. Cukup...!” bentaknya.
Aku tersadar oleh isak tangisnya. Tadinya, aku hanya mendengar isak tangisku. Ada apa ini? Tangisku terhenti. Aku terpana melihat ia menundukkan kepala, seraya menangis dan terduduk layu. Tiba-tiba, ia berdiri, menghampiri Bagas yang saat itu sedang kaget dan bingung dengan sikap sahabatnya itu, dan memukulnya tepat di wajah Bagas.
Bbuuuuggg...!!
“Ini untuk bajingan yang telah menyakiti wanita ini. Tunggu di sini. Dan jangan kemana-mana. Aku akan bikin perhitungan denganmu setelah mengantarnya pulang. Stay here!” ucapnya bernada tinggi ke arah Bagas.
“Kau, bangun. Pakai bajumu. Aku antar pulang.” Perintahnya kepadaku.
“Tapi, pak. Dia akan menyakiti Harun. Dia itu jahat.” Jawabku.
“Berdiri kataku...!!! Pulang sekarang!! Kalau dia menyakiti Harun, aku sendiri yang akan membunuhnya. Ayo pulang.” Ia membentak lagi.
“Tapi, pak...”
“Pulang kataku!”
Aku bingung dengan sikapnya. Aku memang sengaja menggunakan cara ini. Seandainya gagalpun, aku hanya pasrah kepada Gusti Allah Maha membolak-balikkan hati. Tapi aku ga nyangka reaksinya bisa seperti ini.
Aku tak berkata apa-apa selama di dalam mobil. Aku hanya menangis dan meraung sekeras-kerasnya. Entah apa yang aku tangisi sekarang. Aku sudah berhasil keluar dari cengkraman Bagas. Aku menangis dan mengarahkan muka ku berhadapan dengan kaca samping mobil tempatku bersandar. Aku tak mungkin menunjukkan wajah ini di depan Pak Andi. Aku malu. Bagaimana jika ia berbicara pada Pak Faqih? Akan jadi apa aku jika sampai ada yang tahu. Selama ini, hanya aku, Harun dan Bagas yang mengerti akan hal ini.
Ya Allah, maafkan aku. Karena sempat terfikir tuk bunuh diri sekembalinya dari apartemen itu. Ya Allah, ampuni hamba. Tidak mungkin aku sanggup hidup setelah melayani dua laki-laki dengan kesadaran penuh. Aku tak mungkin memaafkan diriku dan tubuhku karena telah membiarkan tubuh ini dijamah dua lelaki dalam satu malam di satu tempat tidur. Ini kejam. Terima kasih Engkau menyelamatkan aku malam ini.
Aku terus menangis dan menangis tanpa henti. Dadaku penuh sesak. Entah kenapa air mataku tak habis-habis meski aku menangis dua hari. Dan detik demi detik berlalu, akupun telah sampai di depan rumahku. Hilman membuka pintu disusul oleh Harun yang tampak mengkhawatirkan ku. Lalu tiba-tiba Harun histeris begitu melihat Pak Andi.
“Jangan dekat-dekat dengan kakakku. Kamu teman penjahat. Kamu teman penjahat. Pergi...!!! Jangan dekat-dekat kakakku.”
Harun tantrum lagi, ia bereaksi histeris. Dia mengamuk sejadi-jadinya dan memukuli Pak Andi dengan liar. Harun terus berteriak. Ku lihat Pak Andi hanya diam, pun tak berusaha menampik pukulan Harun. Aku memeluk adikku dengan erat. Dan membelakangi Pak Andi agar Harun tak memukulinya lagi.
“Sayang... sayang... dengarkan kakak. Om ini tidak menyakiti kakak. Tapi Om ini yang sudah menyelamatkan kakak dari penjahat itu. Tenanglah sayang. Om ini sudah menyelamatkan kakak. Makanya kakak diantarkan pulang. Jadi bisa ketemu Harun lagi.” Penjelasanku sepertinya mulai menenangkannya.
“Benarkah?” tanyanya.
“Iya. Coba lihat wajahnya om. Dia orang baik. Kalau Harun TNI-nya kakak, maka om ini polisinya kakak.”jawabku.
“Terima kasih om.” Lalu Harun memeluk Pak Andi.
Respon yang mengejutkan buatku. Terutama Hilman. Aku tahu dia sakit melihat ini.
Spontan, lengan lelaki itu menarik Harun menjauhi Pak Andi dan mendekapnya.
“Tunggu, dia siapa? Kenapa kamu pulang dengan muka sembab seperti habis nangis parah? Dan kenapa rambut panjangmu yang dari tadi rapi, jadi berantakan. Lalu siapa yang dimaksud dengan penjahat oleh Harun?” tanya Hilman sedikit menahan emosi. Kulihat tangannya mulai mengepal keras. Aku tahu dia marah melihat keadaanku. Terlebih, atas masalah yang tak diketahuinya sama sekali. Lalu tiba-tiba aku diantar pulang laki-laki yang asing baginya.
“Aku jelaskan besok ya. Aku pasti akan tepati janjiku, tapi ga sekarang. Capek banget, Te. Boleh aku tidur dulu?” tanyaku.
“Baiklah. Sekarang kamu tidur. Aku akan tidur di kursi ini, jagain kamu. Kalau butuh apa-apa, aku ada di luar sini. Kamu tidur. Dan laki-laki ini harus segera pergi, sekarang.” jawabnya.
Pak Andipun segera pamitan pergi, sedang aku dan Harun pamitan tidur karena hari dah melewati tengah malam. Dan Hilman masih di luar rumah. Dia orang baik. Sangat baik. Akupun tak akan mungkin merelakan hidupnya hanya untuk wanita bekas seperti aku. Esok, akan tiba saatnya dia tahu siapa aku, dan kenapa aku tak berani menerima cintanya. Tapi tak malam ini. Aku terlalu lelah.




   7            Ini Gila!

POV. Andi
Aku berbalik membelakangi Rere setelah berpamitan. Rasanya, aku ingin bisa seperti Hilman. Selalu ada ketika susah dan senangnya. Selalu bersama dikala ada tangis dan tawa. Turut menemani Rere. Ingin ku membalikkan badan dan berlari memeluknya lagi. Menjadi sedikit obat penenang dari hatinya yang terluka. Sungguh aku tak membayangkan luka sedahsyat apa yang dirasakannya. Beberapa tahun ia memendam sakit tanpa orang tua. Yang tadinya berasal dari keluarga kaya, dalam sekejap mata, semua tiada. Kerja keras merelakan mimpinya demi adeknya dengan segala kekurangannya. Maafkan aku, Re. Aku ingin membantumu, tapi aku kehilangan jejakmu. Andai kau mengenalku sejak dulu. Mungkin tak akan jadi seperti ini. Harusnya saat itu aku melamarmu.
Begitu sampai di parkiran mobil, ada panggilan whatsapp dengan nomer yang tak ku kenal.
“Halo.”
“Assalamualaikum, Pak Andi, ini Rere.”
“Wa’alaikumsalam Re, kok bisa tahu nomer hapeku?” tanyaku heran.
“Saya masih menyimpan kartu nama bapak yang dikasih Pak Faqih, pas nganter mobil kemarin.” jawabnya.
“Oh, begitu. Ada apa, Re?”
“Saya mau mengucapkan terima kasih untuk hari ini.” Jawabnya dengan suara serak karena terlalu banyak menangis.
“Oh, iya. Tak apa-apa. Anggap saja, aku kakakmu.” Ucapku menimpali. Meski, ada rasa tak puas disini.
“Oh, terima kasih banyak, pak.”
“Harus berapa kali berterima kasih, Re?”
“Hehehe, iya maaf.”
“Ga pa pa lah, ga usah minta maaf.”
Sejenak, suara telpon hening.
“Ada lagi, Re?”
“Iya, pak. Saya mohon bantuan lagi. Tolong masalah ini jangan sampai Pak Faqih tahu ya, pak.”
“Oh, itu. Enggaklah. Aku ga akan bilang.”
“Janji?” tanyanya, dan itu membuatku sedikit terperanjat. Karena nadanya mulai manja. Mungkin karena aku tadi sempat bilang, anggaplah aku sebagai kakaknya. Dan sungguh, ia benar-benar butuh sosok figur yang mendamaikannya ketika ia sedang sakit dan terluka.
“Pak...” ia menandaskan lagi, dan membuyarkan kesunyian lisanku.
“Iya maaf, Re. Aku sedang fokus nyetir. Iya, aku janji ga akan bilang Pak Faqih.”
“Alhamdulillah.”
“Oya, Re. Aku juga punya satu permintaan.”
“Apa itu? Jangan yang susah-susah kayak ujian fisika ya, pak.”
“Hahahahaha... bisa aja kamu, Re. Next time, tolong jangan panggil aku pak. Panggil saja mas. Kamu anggap aku kakak. gimana? Ga keberatan kan?”
“I... iya, pak. Eh, Mas Andi.”
“Terdengar masih canggung sih, tapi gapapa. Nanti juga terbiasa. Jadi mulai hari ini, Rere punya adik, dan juga kakak. Punya tentara TNI, dan juga polisi.”
“Hehehehehe... ah, bapak bisa aja.”
“Hey... kok pak?”
“Oh, iya. Maaf, mas. Belum terbiasa.”
“Hehehe, iya ga apa lah. Dan sekarang sudah malam. Lekas tidur, gih. Besok pagi kamu nganterin Harun sekolah, dan bekerja.”
“Baik, mas. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Ya Allah, adem sekali. Jarang banget aku memulai dan mengakhiri percakapan dengan salam. Lebih-lebih dengan perempuan. Semoga engkau menjadi wanita dan calon istri yang solehah, Re. Beruntung laki-laki yang nanti akan memilikimu. Andai kamu juga berjilbab... .
Akupun melangkahkan kakiku, masuk ke kamar Bagas, rasanya ingin ku hantam dia sekeras-kerasnya. Ku lihat dia murung di balkon. Sambil memutar-mutarkan gelas berisi wiski.
“Hey, kamu berhutang penjelasan padaku.” Tanyaku berusaha memecah lamunannya. Ku pegangi kerah bajunya dengan tangan kanan siap menghantam wajahnya. Gelas di tangannya terjatuh dan pecah berantakan.
“Hey, tenang bro. Sabarlah. Kita kan biasa ngobrol baik-baik.”
“Laki-laki sepertimu tak pantas untuk diajak bicara baik-baik. Karena kelakuanmu tak hanya brengsek, tapi bajingan!”
“Lepaskan dulu baju gue. Loe pingin mendengar penjelasan gue atau kagak?”
“Baiklah, jika penjelasanmu tak bisa merubah mood burukku, bersiaplah ku hajar muka kau itu.” Ucapku sembari melepas cengkeramanku.
“Oke... apa yang ingin kau tahu?”
“Jelaskan kepadaku...!!! Semuanya...!!” bentakku karena tak sanggup mengingat air mata Rere di depanku. Dan itu membuat darahku mendidih.
“Penjelasan apa? Sudah jelas tadi yang dibilang wanita itu.”
“Wanita itu? Enteng sekali kau. Kau sudah bertindak kejam. Kamu kejam padanya. Dan kurang ajar!”
“Tahu apa kamu tentang wanita? Sampai saat inipun kau tak pernah sedikitpun mencintai satupun wanita. Sampai orang bilang, kamu mencintaiku. Makanya kau tak pernah menyentuh siapapun kecuali aku. Atau benar kamu penganut LGBT?”
“Jaga mulutmu, Gas.”
“Santai... Biasanya manggil Jon. Tumben panggil nama. Nampak sekali kau marah banget sama aku. Demi wanita itu kau sampai rela memukul sahabatmu ini, hah!”
“Kenapa? Ga terima? Karena kau pantas menerimanya. Syukur-syukur aku tak menghajarmu tadi. Kalau aku tak ingat bahwa kamu tak punya ibu sejak kecil, dan tak ingat kalau kau tak punya saudara perempuan, sudah aku hajar kau tadi. Akhlakmu seperti itu karena kamu tak pernah tersentuh wanita di keluargamu. Bayangkan jika kau punya adik perempuan dan dia diperlakukan orang seperti itu. Apa rasamu? Mati hati hah?”
“Kau yang seharusnya jaga mulut!”
“Marah? Harus kamu yang marah? Ngaca. Lama tinggal di Jakarta ga menjadikanmu bener malah pekok kau! Kasihan itu Rere. Apa kamu tahu nasibnya setelah kau perkosa dan kau rusak masa depannya? Dia ga ada ortu, Gas. Sendirian merawat adik yang kau tahu kayak gimana. Kau pikir gampang? Jadi orang tua aja belum pernah kau. Bayangin betapa keras hidupnya. Hidup loe itu ga ada apa-apanya dibanding penderitaan dia. Masukkan ini dalam otak loe, pekok[14].”
“Okey, gue salah. Gue jadi kayak gini juga karena dia. Andai saat itu gue ga mendem[15] dan memaksanya minum, ga akan gini.”
“Kok jadi dia yang salah??!!” ucapku bernada tinggi kembali.
“Tidak, dia ga salah. Gue yang salah. Tapi sebabnya dia juga.”
“Maksud loe apa sih?”
“Gua cekokin dia sama bir. Pas dia setengah teler, gua ikat adeknya. Dan memang salah gue, lupa gue tutup matanya. Lalu Retha gue perkosa. Tapi adeknya ga liat kakaknya gue tidurin utuh. Dada sampai bawah tertutup rak. Dia hanya menyaksikan dari dada sampai kepala saja. Aku tahu, ini tetep saja salah.”
“Lalu salah si Rere dimana?”
“Damn...!! I’ve been addicted.”
“Maksud loe?”
“Bro, Aretha itu cantik. Bodynya yang loe tahu, banyak cowok yang mau ma dia. Kulit putih. Dan, bau tubuh dan rambutnya selalu wangi. Makin gue tindih, makin nafsu ma dia. Gue kerjain dia sampe gue letih. Ada rasa nyaman saat gue ngelakuin itu. Sentuhan dia, nafas dia, tatapan dia, tubuh dia, magnet buat gue.”
“Brengsek kau, Bagas! Kau jadikan dia objek fantasimu!” emosiku meledak kembali mendengar ia berbicara makin ngacau. Dan ku tonjok mukanya sekali lagi. Entah emosi apa ini. Aku tak pernah semarah ini. Lebih-lebih kepada sahabatku yang satu ini. Aku sudah mengepalkan tangan dan bersiap menghajarnya melebihi tinjuku barusan, namun dia berteriak dengan suara yang lebih keras.
“Dengerin gue sampai selesai, bro! Setelah itu, terserah loe mau mukul gue atau bunuh gue sekalipun.”
“Baiklah, lanjutkan. Jika aku mendengar ucapan yang membuatku muntab[16], kau akan tahu kemana akhir dari tinjuanku ini.”
“Dengarkan gue dulu, bro. Apa yang gue rasakan itu, ga gue dapatin dari wanita manapun. Sumpah, gue emang pingin ngulangin lagi. Tapi sejak malam itu, gue ga pernah liat dia lagi, sampai kemarin. Kehadiran dia membangkitkan gairah masa lalu gue. Gue ga tau kenapa. Tiap liat dia, gue nafsu banget. Dan ini membingungkan. Saat itu, gue sadar kalo cuma main-main aja ma dia. Gue cuma mainin dia. Manfaatin dia. Masih kelas 3 SMA tapi bisa ngerjain mapel kuliah gue. Sampai kemarin gue masih main-main ma perempuan hanya kepingin bisa nemu yang kayak Retha. Tapi ga ada, bro. Dan sumpah, dia satu-satunya wanita yang ga bisa gue lupa. Gue harus berhenti mainin perempuan. Toh mereka ga ada yang perawan.” Ungkapnya.
“Gue nyesel, Ndi. Nyesel banget setelah tau kondisinya hari ini. Perempuan-perempuan itu sudah biasa hidup begitu. Tapi dia enggak. Gue ga tau tangisannya sepilu itu. Nafsu gue ke dia langsung raib. Air matanya itu mendinginkan api yang selama ini gue pendam terhadapnya. Yang ada cuma rasa sesal dan hina. Bro, gue nyesel. Apa yang sudah gue lakukan di masa lalu, sungguh tak bisa dimaafkan. Ya Tuhan, Re... maafin gue. Gue pasti telah menjadi penderitaan terbesar hidup loe.” Lanjutnya. Kepalanya bersandar dan berhadapan dengan dinding.
Sungguh, emosi yang tadinya ingin menghancurkan mukanya, perlahan mulai menghilang seketika setelah ku lihat bulir bening telah berada di ujung matanya. Meski jengkel itu masih ada. Aku tahu benar siapa dia, ekspresi kesedihan ataukah cuma pura-pura yang terpancar dari wajahnya. Aku tahu kenapa dia sampe merasa seperti itu. Karena sejak kecil, dia tak bahagia. Dan siapapun yang sedang bersama Rere, pasti akan menemukan sebuah kenyamanan. Termasuk aku.
“Gue akan menikahi Rere, bro.” Ucapannya mengejutkanku.
“Apa? Kau gila.” Entah kenapa ada rasa cemburu dalam hatiku.
“Gue serius. Bantu gue. Demi Tuhan gue nyesel banget. Gue tahu dia benci banget ma gue, bro. Hidup tanpa seorang ibu begini banget rasanya, apalagi dia tanpa orang tua dan dibebani merawat Harun meski gue tahu, ini bukan beban buatnya. Gue akan berubah. Demi dia. Gue janji.”
“Minta sama Allah. Loe sholat aja kagak pernah. Itu si Rere rajin sholat. Ngaca napa?”
“Oke, gue janji. Gue akan berubah. Bimbing gue, Ndi.”
“Pekok loe. Dari dulu gue nyuruh loe sholat sampe mulut gue berbusa, ga pernah mau loe. Giliran urusan perempuan aja, otak loe langsung di dengkul.”
“Hidayah ga datang dari bawelan elu.” Kilahnya.
“Ya udah. Sekarang sholat isya’ sana. Yang khusyuk. Tobat. Sebut nama dia dalam doamu.”
“Tunggu, sebelum sholat, gue ada satu pertanyaan buat loe. Loe keliatan kenal banget ma Rere. Kenal dimana? Loe ga naksir kan ma dia? Gue liat dari cara loe meluk dia.” tanyanya mulai kepo tentang aku dan Rere.
“Pekok loe ga habis-habis ya. Dia dah gue anggep seperti adik.”
“Adik? Kok dia ga kenal ma elu?”
“Mungkin dia lupa. Dia gadis baik-baik. Matanya ga pernah jelalatan ma cowok, ga kayak elo. Dia ga sadar kalo dulu gue sering ke rumahnya.”
“Wow... yang bener? Trus ngapain kamu disana?”
“Elu kalo ngomong yang bener dong. Kadang elu gue, elu gue. Kadang aku kamu. Piye tho? Gue ngikutin loe ikut bingung.”
“Ah, suka-suka gue. Gini-gini, gue asli anak Sidoarjo.”
“Serah loe lah.”
“Eh, cerita dong.” Sergahnya.
“Bapak ku dulu anak buah ayahnya Rere. Kami banyak hutang budi ke beliau. Sering nolong kami. Bapaknya Rere orang baik. Begitu juga ibunya. Jadi aku sering ke rumah dia. Paling sering, pas aku ikut bapak ke ayahnya, pas Rere sedang belajar. Selalu gitu. Dia suka ilmu eksak dan sejarah. Banyak koleksi buku-bukunya. Dia sibuk ma buku-bukunya. Jadi tak pernah memperhatikanku. Dan pagi itu, aku ke rumahnya. Tapi tanpa bapak. Hanya mengantar pesanan dokumen bapak. Tapi ternyata ayahnya belum pulang. Aku melihat pakaiannya lusuh, dan menangis hebat, hingga terdengar dari luar kamarnya. Aku malah tak melihat Harun. Mungkin dia masuk duluan. Hatiku ikut sakit mendengar tangisnya. Entah ada apa, aku masih penasaran. Dan hari ini terjawab sudah. Kenapa tangisnya sepilu itu.”
Dan suasana menjadi hening sesaat.
“Apa kau tahu? Paginya, aku mendengar ia menangis hebat. Dan malamnya, aku melihat dia menangis lagi diantara jenasah ayah dan ibunya, yang membujur kaku dan berkain kafan karena kecelakaan mobil. Tangis yang kau dengar hari ini hanya separuh pilunya daripada tangisnya malam itu. Dan asal kamu tahu, mulai hari ini aku akan menjaganya. Dia adikku. Sekali lagi kau menyakitinya, akan ku bikin perhitungan yang pantas buat kamu. Karena aku lebih dulu mengenalnya, daripada mengenalmu.”
“Aku janji padamu, sahabatku. Aku tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.”
“Aku tetap belum mempercayaimu.” Ujarku.
“Ayolah, Ndi.”
“Awas ya, kalau kamu gendeng lagi.”
“Enggak, enggak. Tangisnya hari ini memecahkan kegilaanku. Aku akan minta maaf padanya besok.”
“Jangan besok. Dia masih hancur akibat ulahmu kemarin dan berujung di tempat ini tadi. Biarkan dia tenang dulu. Sekarang sholat sana. Minta ampun pada Allah sebelum datang waktumu meminta maaf pada Rere.”
“Baik, calon kakak iparku.”
“Dasar pekok.”
“Hahahahahahaha” tawanya. Aku tahu, Dia tertawa untuk menutupi rasa sesalnya.
Dan aku... mulai merasa gelisah. Wanita yang selama ini ku cari untuk ku bahagiakan, ternyata mengalami peristiwa memilukan seperti ini. Dan sahabat terdekatku, ternyata adalah orang yang telah menghancurkannya. Aku tak bisa mencintai wanita manapun selama ini, karena Aretha. Dan benar, aku mencintainya. Aku tak peduli dengan masa lalunya, karena aku mencintainya sejak dulu, dan tak kan pernah berubah. Haruskah aku bersaing dengan sahabatku sendiri? Dan Hilman... .








  




   8           Katakan Cinta Jika Kau Cinta
 


Aretha
Pagi ini, berlalu seperti biasanya. Tak ada yang spesial. Aku hanya menunggu waktu tuk menjelaskan semua ini ke Hilman. Tapi, entah kemana ia pergi. Sampai aku berangkat mengantar Harun ke sekolahpun, ia masih tak terlihat. Bukannya semalam dia bilang tidur di luar? Aku ingin membangunkannya sholat subuh tadi, tapi tak ada. Dia ada dimana? Ataukah, ia menyusul Pak Andi dan bertanya sendiri? Ah, terlalu dini aku menyimpulkan. Ada apa sih aku? Aaahhh... kemarin mikir itu. Hari ini Hilman. Bagaimana jika dia pergi meninggalkanku ketika ia tahu semua tentangku? Duuuuhh... Ah, sudahlah. Aku pulang dulu saja. Siapa tahu, dia sudah di rumah.
Dan benar dugaanku. Ia terduduk di depan rumah, seperti sedang gelisah.
“Assalamualaikum, Te. Dah lama? Aku tadi nyari’in tapi ga ada. Kemana?” tanyaku.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, akhirnya ada yang nyari’in aku. Seneng tau ga dicariin kamu.”
“Apa’an sih?”
“Duuuuuhhh... kenapa pipimu merah?” godanya.
“Udah dong. Jangan gombal terus.” Jawabku sambil manyun. Entah kenapa aku merasa sedikit terganggu dengan ledekannya.
“Ngambeg? Makin cantik loh.” Ledeknya.
Entahlah, jantungku jadi berdebar ketika ia meledekku dan mendekatkan tubuhnya melewati zona nyamanku.
“Ayo dong cerita. Semalem dah janji loh.”
“Baiklah. Ayo masuk.”
Suasana mendadak sunyi. Seolah ia membiarkanku memulai cerita lebih dulu tanpa dibebani pertanyaannya.
“Aku ga tau, setelah ini, kamu masih mau berteman denganku, ataukah kau malah makin menjauh. Karena aku yang sebenarnya, bukanlah wanita yang selama ini kamu kenal.”
Ia tahu keraguanku. Dan aku susah untuk menjelaskannya. Tapi kegelisahan ini harus segera aku akhiri.
Di ruang tamu ini, aku menandaskan sesuatu padanya.
“Sebelum aku cerita, aku mau kamu janji beberapa hal. Kalo ga mau, aku ga kan mau cerita.” Kataku.
“Baiklah. Apa itu? Katakan.”
“Pertama, sebelum aku selesai cerita, jangan tanyakan apa-apa dan jangan berkata apapun. Kedua, jangan pernah bertanya siapa laki-laki yang akan aku ceritakan ini, karena aku ga mau membahas dia lagi. Aku ingin, ini terakhir kalinya aku menyebut namanya. Dan karena itu sakit. Ketiga dan terakhir, jangan bereaksi apapun yang bisa mengundang perhatian tetangga. Karena bagaimanapun juga, kita berduaan di dalam rumah ini, sudah salah. Maukah kau berjanji?”
“Baiklah. Asal kau cerita tentang apa yang membuatmu menangis seperti orang gila. Aku mendengarmu dari balik jendela kamarmu semalam. Karena tak tahan mendengarnya, aku pergi ke rumah Pak Faqih dan ijin tidur di luar rumahnya agar tetap bisa mengawasi rumah ini.” Ujarnya. Dan itu cukup membuatku terkejut.
“Maafkan aku.”
“Ga apa. Ga perlu minta maaf. Lalu bagaimana ceritanya?”
“Laki-laki yang dibenci Harun itu adalah mantan pacarku, dan dia sudah memperkosaku. Dan dia, teman Pak Andi yang mengantarku kemarin.”
Aku menceritakan semuanya. Dari awal sampai aku diantarkan pulang oleh Pak Andi. Sambil bercerita, aku sambil mengamati reaksi dan raut wajahnya. Terlihat jelas, ia sedang menahan amarah dan tangisnya. Karena ia tak mungkin menangis di hadapanku. Ada masanya, kapan air mata seorang laki-laki itu ditahan, dan kapan harus dikeluarkan. Dia menepati ketiga janjinya. Makin terlihat, ia memakan habis semua ceritaku. Didengarkannya dengan seksama, dipahami dengan hati-hati, dan dipelajarinya untuk tetap tenang karena ia telah terlanjur berjanji.
Angin yang dingin masuk melewati pintu dan jendela-jendela rumahku. Beserta kehadiran beberapa hembusan angin yang menyeruak dan berhasil masuk ke dalam rumah. Menambah suasana sedih dan rasa sakitku. Setelah ku lontarkan penjelasan terakhirku, akupun tak mampu membendung tangis dan air mataku. Lalu aku menutup mulut dan hidungku dengan bantal dari kursi yang ku duduki agar suara tangisku tak keluar dari mulutku. Tetanggaku, tak boleh ada yang tahu.
Selama beberapa menit lamanya, Hilman duduk di depanku, menatap tingkahku, mendengar tangisku, dan merasakan pedihku. Aku tahu, aku mungkin salah. Tapi, mungkin saat ini ia ingin berlari memelukku dan meminjamkan bahunya untukku menangis. Tapi ia tak lakukan itu, hanya karena terikat janji dan agar tak menarik perhatian tetangga agar tak ada pandangan yang salah tentang apa yang kami berdua lakukan disini.
Ketika aku berhenti menangis, dia mulai angkat bicara.
“Sudah selesai menangisnya?” tanyanya.
Dan aku hanya menganggukkan kepala, sambil memandangi wajahnya yang kusut.
“Apa kau masih ingat, seorang gadis yang bertengkar denganku di depan hotel saat itu?”
Dan aku hanya menganggukkan kepala. Raut muka merah padam tanda ia sedang menahan emosipun telah nampak jelas bagiku. Dan mungkin siap meledak.
“Yang kau tahu hanyalah, bahwa dia adalah adikku. Kau tidak tahu bahwa, dia juga korban perkosaan dan selama 2 tahun dia gila...!!!” ucapnya dengan nada tinggi.
“Dia di rumah sakit jiwa selama itu. Ketika dia dinyatakan sehat dan bisa pulang, perangainya berubah jadi pendiam dan mudah marah. Selama ini, dia tinggal bersama orang tua kami di Ngawi. Dia masih ada orang tua, masih punya aku, tapi dia tak sanggup melewati hari-harinya sehingga dia gila. Dan bahkan pernah mencoba bunuh diri. Tapi terselamatkan karena bapak menggagalkannya. Dia tak sanggup menerima semua itu. Aku... yang tak ikut mengalami itu bisa merasakan sakit yang hebat tapi kamu bisa diam selama itu. Dan, kau kira kamu ini siapa?! Wonder woman, hah? Bagaimana kamu bisa melewati beban ini sendirian selama 5 tahun? Hatimu terbuat dari apa...?!!”
Tiba-tiba dia menarik lenganku menuju dapur. Dia menangis. Mungkin ia tak ingin terlihat tetangga menangis, maka ia menarik lenganku menuju tempat ini. Semuanya hening. Hanya terdengar isak tangisnya. Aku tak menyangka, reaksinya seperti ini. Aku kira, dia malah akan pergi meninggalkanku. Bagaimana bisa? Aku Cuma perempuan bekas dan cuma sampah. Aku jadi ingin memeluknya. Karena aku tahu, dia tak akan mau menyentuhku. Ternyata selama ini, iapun menanggung beban seberat itu, adiknya dan juga aku.
“Apa aku boleh bertanya?” tanyaku perlahan.
“Apa?” jawabnya.
“Jika adikmu bersama kedua orang tua, lalu apa yang dia kerjakan di kota ini? Dan jika Om Adi bukan ayahmu, kenapa kau panggil bapak dan tinggal bersamanya?”
“Dia habis kontrol dari rumah sakit jiwa. Dan laki-laki yang kamu panggil Om Adi itu adalah pak dhe-ku. Sudah seperti bapak buatku. Beliau yang membiayai sekolah SMA dan membantu biaya kuliah S1 ku disini.” Jawabnya.
Dan diapun mulai bergerak mendekati tubuhku.
“Sekarang ganti aku yang nanya. Kenapa kau diam saja, Re? Apa kamu tak menganggapku ada? Kita kenal sejak lama. Aku ngerasa ga berguna buatmu. Aku tak bisa melindungimu padahal saat itu aku sudah mengenalmu meski tak sedekat sekarang. Aku tak bisa berbagi merasakan luka yang kamu rasakan. Aku laki-laki tak berguna. Tak berguna!” Ungkapnya kecewa sambil melepas pelukannya.
“Bukan begitu, Te. Aku... .”
“Apa?”
“Aku takut kau akan menjauhiku jika kau tahu bahwa yang tertinggal dalam diriku hanyalah seonggok sampah.” Jawabku mulai menangis lagi.
“Jadi sependek ini pikiranmu tentang aku? Apa aku serendah itu hingga kau menganggap aku akan meninggalkanmu karena masa lalumu? Kamu tak pernah tahu isi hati orang, Re. Itu namanya menjudge. Aku mencintaimu, bukan karena apa yang ada dalam dirimu. Tapi kebersamaan kita mengajariku tuk menyayangimu dan Harun. Satu-satunya alasan aku bisa bertahan denganmu karena aku terbiasa denganmu. Jika aku terbiasa, mungkinkah aku bisa meninggalkanmu dan Harun karena sebuah masa lalu?”
Iapun melepas pelukannya dan menatap mataku dalam-dalam.
“Aku terlalu mencintaimu untuk mendengarkan ini semua. Hatiku terlalu lemah melihat dan mendengar tangismu. Dan aku terlalu marah karena tahu kediamanmu selama ini. Seolah aku bukan siapa-siapa bagimu. Tapi aku tahu, kau tak bermaksud seperti itu padaku. Dan aku takut berbuat melebihi batas karena amarah ini. Berikan aku waktu. Aku akan datang kembali jika aku sudah siap menemuimu lagi. Ini tak akan lama. Karena aku tahu bahwa aku tak kan bisa lama-lama jauh darimu.”
Lalu ia pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun. Dia pergi karena kecewa, ataukah karena aku tak pantas lagi berteman dengannya? Aku hanya tak ingin ada yang tahu. Tak semua masalah itu harus diceritakan. Tapi ini terlalu berat untuk dia terima.
Mungkin dia butuh waktu. Masalah adiknya telah menjadi beban berat hidupnya. Lalu suatu hari, dia terpaksa harus mendengar cerita yang sama dari wanita lainnya yang ia sayangi. Kini aku berani jujur, bahwa aku... mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu. Melebihi yang kau tahu. Yang tak berani aku lakukan adalah, menyampaikan rasa ini langsung di hadapanmu. Memberi jawaban atas cinta yang selama ini dengan sabar kau jaga sampai aku bilang iya. Enam tahun ini, engkau selalu ada untukku. Dan aku ucapkan terima kasih untuk kesabaranmu.
Hil, jangan lama-lama kau menjauhiku. Jika kau tak butuh alasan untuk mencintaiku, maka aku tak akan butuh tentang apa akibat jika aku masih terus mencintaimu. Bahagia atau tidaknya aku denganmu kelak, hanya kita yang bisa menentukannya. Ajari lisan ini mengatakan I love you, too. Ajari aku juga tuk siap menjadi makmummu, menjadikanmu imamku, dan iman adikku.










   9            Maukah Kau Menikah Denganku?
 

Hari semakin petang. Sampai detik ini, dan telah beberapa hari, aku tak melihat wajah Hilman lagi. Aku masih berjibaku dengan kesibukanku di kedai Pak Andre. Menggulung rindu dalam hati yang mulai berjelaga. Akankah ia membiarkan rindu ini tak bertuan? Sedangkan, Mas Andi makin sering menemuiku. Ya, aku mulai terbiasa memanggilnya mas. Harusnya, Hilmanlah orang yang tepat kupanggil dengan panggilan mas. Ku rasa, antara Mas Andi dan aku, itu tak cukup sebatas rindu dari kakak untuk adiknya. Dan Bagas, ia juga mulai berusaha tuk menemuiku. Dan aku tak menginginkan itu. Sungguh, aku hanya ingin melihat senyumanmu saat ini disini Hil, bersamaku. Seperti waktu-waktu lalu. Dan aku sedang rindu.
Sesampai di jalan agak sepi menuju gang rumah, aku melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak aneh di dekat semak. Itu apa, di tempat gelap begini? Angin semilir yang dingin menusuk pori-pori seolah menembus tulang belulangku, menambah suasana yang tak menyenangkan. Entah kenapa di gang ini, lampu yang dipasang selalu mati. Yang ada hanya lampu penerangan dari motor ato senter orang-orang yang lalu lalang.
Astaghfirullah... apa itu...??? Putih-putih membujur di tanah dan bergera-gerak? Kenapa jadi begidik begini? Tapi, jika itu hantu, kenapa posisinya begitu? Nanggung amat kalo mau nakut-nakutin orang. Lagian mana ada pocong ato kuntilanak rebahan di pinggir jalan? Mau pindah tidur ato gimana sih tuh setan?
Akhirnya ku beranikan diri mendekat dengan motor Pak Andre. Kalo beneran setan, tinggal tancap gas. Setelah dekat, Astaghfirullah... ini orang. Baju putihnya berlumuran darah. Ku segerakan menolongnya, dan... .
“Ya Allah, Bagas!” teriakku. Alhamdulillah dia masih sadar.
“Tahan sebentar, akan ku bawa kau ke rumah sakit terdekat. Kamu yang kuat, Gas.”
Ku bantu tubuhnya yang sudah tak kuat berdiri tuk naik ke motor. Ku ikat tubuhnya dengan jaket, dan ku larikan ia ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, Bagas pingsan.
Ku telpon Mas Andi agar lekas datang dan melihat kondisi Bagas serta mengurus apa-apa yang dibutuhkannya. Beberapa puluh menit, iapun tiba.
“Bagaimana kondisi Bagas, Re?” tanyanya.
“Kata dokter tidak apa-apa. Tadi sempat sadar, dan sekarang dia tertidur di kamarnya.” Jawabku.
“Terima kasih, Re.”
“Iya, mas. Saya pulang dulu. Saya tak bisa lama-lama ninggalin Harun di rumah.”
“Baiklah. Hati-hati.”
“Iya, mas. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku segera pulang. Aku yakin, Harun sudah tidur. Ini sudah jam 10 malam. Biasanya, dia tidur sebelum jam 9 malam. Begitu sampai rumah, ku lihat Harun sedang bermain dan tertawa dengan seseorang.
“Hilman. Hey... .” ini surprise banget.
“Aku kesini karena kangen sama Harun. Kamu dari mana saja? Sampai jam segini Harun sendirian?”
“Dari rumah sakit.”
“Loh, kenapa dari rumah sakit? Kamu sakit?” tanyanya terkejut.
“Enggak. Aku tadi ketemu Bagas. Dan ku antarkan ke rumah sakit.”
“Apa?! Dia kenapa?” reaksi Hilman terkejut aneh.
“Katanya tadi ada yang mukul dia. Habis mukul, langsung ditinggal pergi tanpa tahu kalau Bagas terjatuh dan kepalanya membentur batu. Tapi dia ga mau lapor polisi. Kenapa kau terkejut begitu?”
“Aku yang mukul dia.”
“Apa?!” tanya ku, gantian terkejut.
“Pas tadi dalam perjalanan ke rumahmu, aku papasan dengannya dan menanyakan alamatmu. Saat ku tanya ada apa dan dia siapa, dia jawab mau ketemu kamu dan namanya Bagas. Aku spontan marah. Kami sempat debat sebentar. Lalu ku tonjok, dan ku tinggalkan gitu aja.”
“Kamu sudah gila ya?” tanyaku.
“Ya, aku gila karena mu. Dia yang sudah menyakitimu. Dan itu tadi, spontan.”
“Iya, tetep aja ga boleh gitu.”
“Iya, aku salah. Maaf.”
“Kalo gitu, besok kamu ikut ke rumah sakit, dan minta maaf.”
“Apa? Ngaco. Mana mau aku minta maaf sama orang brengsek macam dia? Dia itu sudah nyakiti kamu, Re.”
“Lalu apakah kita harus menjadi orang jahat untuk membalas orang jahat? Lalu apa bedanya kita ma dia?”
Sepertinya ucapanku membungkam amarahnya.
“Baiklah, besok aku ikut kamu ke rumah sakit. Aku ga mau disamain sama orang macam dia. Jadi karena kamu, bukan karena dia.”
“Kak Ilman ga jadi ngomong ke kakak?” tanya Harun memecahkan suasana yang sudah kaku mulai pertama bertemu.
“Iya, jadi dong. Besok aja. Cepat tidur ya. Dah malam.” Jawab Hilman sambil tersenyum ke arah Harun.
“Iya, kak.” Jawabnya.
“That’s my great boy. Luv ya.” Ucapnya.
“Ngomong apa?” tanyaku.
“Besok aja. Aku pulang dulu. Dah malam.”
Pertemuan saat itupun berakhir dengan perpisahan. Harun masuk kamar tidur, Hilman melangkahkan kaki keluar, dan aku hanya bisa memandangi mereka hingga masing-masing dari bayangan dua lelaki spesialku ini, menghilang dari tatapan mataku. Dan akupun segera mandi karena gerah, dan beranjak tidur setelahnya.
*****
Esoknya, aku menjalani aktifitas seperti biasa. Jadi kakak-kakak cantik nganter adik, bukan mama-mama cantik ngantar anak. Hehehehe... Lalu jadi loper koran Om Gendut, lanjut ke kedai Pak Andre. Hah, rasanya pingin manggil Ko Andre seperti yang lain. Lebih keren dan enak manggilnya. Tapi sudah terlanjur manggil bapak dari SMA dulu. Keluarga yang baik dan hangat. Andai ayah bunda masih ada, pasti kehangatan ini akan kalah dengan kehangatan yang ditimbulkan karena kasih sayang mereka. Dan akan jadi kehangatan terindah di usia ku yang hampir 24 tahun ini. Beberapa teman sudah menikah. Ada yang sudah tunangan. Ada yang sudah punya anak. Akunya masih jomblo.
Ah, andai tiap hari Sabtu hujan terus, lama-lama bisa masuk panti jomblo nih. Dan pepatah mengatakan, hidup ini singkat, tapi ngejomblonya yang kelamaan. Tapi ga apa sih. Ntar kalo mati, yang ditanyai malaikat itu “Siapa Tuhanmu?” bukan “Siapa pacarmu?” betul ga sih? Dan cara jitu menghibur diri ala para jomblo, every satnight mereka keluar rumah. Sok-sok’an ada acara ato apel gitu. Padahal cuma ke pom bensin doang, trus pulang. Tapi ada enaknya sih jadi jomblo. Bisa free, freehatin.
Suara Lia membuyarkan lamunanku. Padahal lagi hikmat-hikmatnya menikmati rasa ini.
“Re, dipanggil cece tuh.”
“Ah, ngelamun aja lu. Sampe kaget gitu. Makanya cepet cari pacar. Biar g kelamaan jadi nenek-nenek jomblo.” Ledeknya sambil nyelonong pergi. Ketawanya g enak banget sih. Halaaahh... .
Sampai di kedai ibu, ku lihat senyumnya merekah.
“Ini ada pesenan, antarkan ke rumah sakit Delta Surya. Pagi ini cuma satu.”
Ah, sejak didaftarin bapak ke online food delivery, pendapatanku jadi kurang. Tapi ga apa sih. Toh, pelanggan yang dah hafal dengan kedai kami tetap milih Rere yang nganter. Karena tarif kami lebih miring. Lha wong masuk kantong sendiri. Aku harus selalu update info. Kalo tarif kurir online sepuluh ribu, aku pasang delapan ribu. Dapet dikit yang penting lumintu[17]. Dan barokah pastinya.
“Nggih, bu. Siap cus.” Jawabku.
Sesuai dengan catatan, pemesan menunggu di lobi depan pake kemeja putih lengan pendek, celana hitam, topi hitam dengan bordir daun hijau. Heemmm... mas mas PPL kali ya. By the way, ini orang ruwet banget ya. Tinggal cantumin nama aja ga mau. Ibu ga ngasih no hp si mas-nya.
Dan, ah, mungkin dia. Duduk di kursi lobi, kemeja putih lengan pendek, celana hitam, topi hitam dengan bordir daun hijau. That’s him! Lagi nunduk’in kepala. Kayaknya ga asing nih orang. Dan benar,
“Terong, ngapain disini pake pesan makanan segala.” Dasar terong, spontan aku tonjok lengannya.
“Aduh, sakit, Re.”
“Aneh tau ga. Mau sarapan di rumah sakit, biar apa coba?”.
“Lha, kan kamu yang bilang nyuruh kesini, minta maaf ma itu pejantan amoral itu. karena aku belum sarapan, aku pesan aja, sekalian bisa dengan mudah nyulik kamu.”
“Aku kerja, te.”
“Itu makanya aku pesan. Biar aku bisa ketemu kamu. Paling jenguknya bentar doang kan? Datang, minta maaf, trus pulang. Aku juga mau ngomong ma kamu. Tapi nanti.”
“Oh, okey. Ya udah, kamu makan dulu. Habis ini kita masuk. Dan ga pake lama.”
“Iya, bawel.”
Alhamdulillah. Hilman yang dulu dah balik. Semoga sikapnya tak akan pernah berubah.
*****
Dan sekarang, kami sudah ada di kamar Bagas. Kami hanya berlima, dengan Mas Andi, dan seorang lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan. Entah siapa. Lelaki itu tersenyum ramah ke arahku.
“Assalamualaikum.” Ucapku.
“Hey, Rere. Wa’alaikumsalam. Kamu sama Hilman. Ada apa?”
“Biar dia yang ngomong, Gas.”
Lalu, Hilman melangkahkan kaki mendekat ke arah Bagas, menjulurkan tangannya dan meminta maaf.
“Maafkan aku. Aku sudah emosi kemarin.” ungkapnya.
Tiba-tiba, lelaki yang tak ku kenalkan itu menyahut dengan wajah berkernyit cukup serius.
“Ma’af? Apa kamu yang memukul Bagas?” tanya beliau.
“Bukan, bukan lah pa.” ucap Bagas memotong maksud lelaki disampingnya itu.
Dan, hey... beliau papa Bagas.
“Bagas sama Hilman temenan, pa. Kemarin sempet salah paham sebelum peristiwa pemukulan itu. Kan sudah Bagas bilang, yang mukul Bagas cuma preman kurang kerjaan yang mau ngerampok Bagas.”
Apa? Aku ingin ketawa, tapi takut dosa. Hilman pasti sebel mendengar ia dianggep preman. Tapi, aku hargai niat Bagas melindungi Hilman.
“Ya kalo gitu laporan polisi, Gas.” Papanya terlihat kesal.
Hah, polisi? Semua terkejut.
“Ga usah lah, pa. Orangnya juga sudah kabur. Yang penting Bagas ga apa-apa. Dan gadis ini yang nolong Bagas, pa.”
“Oh, terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa anak bapak. Namamu siapa, nduk?”
“Nama saya Aretha, pak.”
“Nama yang bagus. Dan kamu cantik.” Sekali lagi, beliau tersenyum ke arahku.
“Ehm, mohon maaf pak, Gas. Kami harus segera pamit. Karena Aretha juga harus kerja.” sela Hilman, dan segera menarik tanganku lalu mengajakku keluar.
“Tunggu, Tha. Aku mau ngomong.” Panggil Bagas mencegahku pergi.
“Sebelum pergi, aku ingin menyampaikan sesuatu.” Tatapan mata Bagas dalam.
“Jangan sekarang, Gas.” Cegah Mas Andi.
Ini ada apa?
“Pa, Aretha ini yang sudah Bagas ceritakan. Dan Bagas mau melamarnya.”
A... apa? Loh... kok...??? Tak hanya aku, semua yang ada dalam ruangan ini terkejut. Bagas berusaha bangun dari tempat tidurnya meski tak mungkin, karena hal itu membuat kepalanya terasa sakit.
“Tha, maaf. Sungguh aku menyesal telah berbuat jahat dan tak adil padamu. Aku janji, aku akan tebus semua kesalahanku. Maukah kau menikah denganku?”
Haaahh...???!!!!!!!!
Dia ngomong apa sih? Aih, ada papanya, ada Mas Andy, ada Hilman, dia malah ngomong gitu. Duh, dasar pentol goreng, cireng kotak, pastel gosong. Apa-apa’an seh, nih anak? Aih... . rasanya kudu smack down dia disitu, sebel. Malu banget sama bapaknya.
Aku sempat melirik raut wajah Hilman. Nampaklah wajah shock yang tergambar jelas disana. Lalu berganti memandang wajah Mas Andi. Wajahnya seperti tak suka.
“Ga harus sekarang jawabannya. Ada papa disini. Artinya aku serius. Aku sayang kamu, Re. Langsung nikah aja, ga pake tunangan. Umurku juga makin tua. Trus bikin anak yang lucu-lucu.” Lanjutnya.
What...??! Dia sadar tidak dengan ucapannya? Begitu mudah bilang bikin anak sementara aku yang masih perang dengan hatiku. Konflik batin ini entah sampai kapan menguasaiku tentang dia dan aku di masa lalu.
“Tidak apa-apa. Jawab nanti saja. Pasti keputusan Bagas ini mengejutkanmu. Dia sering cerita tentang kamu akhir-akhir ini. Sekarang, pulanglah. Pikirkan pinangan Bagas baik-baik. Bapak juga akan menunggu jawabanmu, Nak Rere.”
Tiba-tiba, beliau mendekatiku, lalu menarik tanganku mendekati Bagas. Dan meraih tanganku tuk memberiku kotak kecil warna merah. Ini, cincin berlian! Aku makin terperanjat.
“Semalam, aku mau ke rumahmu karena ingin menyampaikan ini. Tapi nanti akan aku ganti yang lebih baik dari itu pas kita nikah. Maaf harus berakhir disini. Terimalah cincin ini. Bawa, lalu pikirkan. Jika kamu setuju, pakailah. Jika tidak, kembalikan minggu depan. Cukup kan seminggu?” dia menandaskan lagi.
“Ga perlu dikasih waktu. Biar dia jawab ketika siap, Gas.” Kata papanya.
“Dan bawalah cincin ini. Jangan menolak. Anggap di dalam pemberian ini, ada nama bapak, karena Bagas anak bapak satu-satunya. Terima kasih sudah menyadarkan dia menjadi laki-laki yang lebih baik, dan berhenti menjadi lelaki nganu.” ucapnya.
“Papa ngomong apa sih ke Rere, pa. Ah, papa.” sergah Bagas.
“Untuk itu, papa sendiri yang melamar Rere jadi mantu papa. Papa juga mau dia jadi mantu papa. Papapun tak akan setuju kamu melamar Nak Rere kalau kelakuanmu serusak dulu.” Selorohnya.
Ya Tuhan, aku jawab apa? Aku mau jawab tidak, aku tak mau menikah denganmu, tapi ada papanya. Kalo aku bilang iya, ada Hilman. Dan aku tidak mungkin menghabiskan waktu dengan pria yang aku benci. Tak bisa ku bayangkan hati Hilman. Duh, kenapa aku ajak dia kemari? Bodoh... bodoh... bodoh... aaaahhh... aku ga pinter-pinter seh... . And I think, I’m gonna be black out. Dan akhirnya kamipun pergi dari rumah sakit itu.
Hilman diam saja. Tanpa kata, tanpa suara. Langkahnya gontai. Matanya sayu. Aku berusaha memecahkan suasana, agar tak ada sunyi diantara kami.
“Te, tadi, katanya mau ngomong sesuatu.” tanyaku.
“Oh, itu. Aku mau bilang ke kamu, bahwa pekerjaan yang aku ceritakan kapan hari itu adalah seorang guru. Aku guru tetap sekarang. Keren kan?” jawabnya.
“Alhamdulillah, itu bagus sekali. Di sekolah mana?”
“Di salah satu sekolah swasta maju di Waru. Kini aku bisa menerapkan ilmuku.”
“SMA?”
“SD.” jawabnya sambil tersenyum.
“Ayo, kamu harus kembali kerja.” ujarnya.
“Itu keren, Te. Moga sukses ya.” Ku coba tuk memperlama pembicaraan.
Dan dia hanya tersenyum. Aku tahu senyum itu dipaksakan untuk mewarnai wajahnya. Aku tahu dia sedang merasa sakit. Tapi aku tak tahu sesakit apa. Maafkan aku, Hilman. Karena aku, terpaksa kamu harus melihat dan mendengar ini semua.
***
Waktu berlalu dengan cepat. Entah dimana Hilman sekarang. Malam makin larut, akupun tak bisa tidur. Dan suara Harun membangunkanku dari lamunan tak jelas ini.
“Kakak belum tidur? Sudah jam 12.” tanyanya.
“Kakak belum ngantuk. Harun kenapa terbangun?”
“Ayun mau ke kamar mandi.” Jawabnya sambil menatapku dalam.
“Kakak ga bisa tidur karena Kak Hilman? Kemarin dia bilang mau melamar kakak.” lanjutnya. Dan ucapannya membuatku terkejut.
“Apa? Ayun, apa yang kamu ucapkan ini?” Tanyaku tak percaya.
“Iya, semalam sambil nungguin Ayun sampai kakak pulang, Kak Hilman cerita mau melamar kakak. Cincinnya dikasih liat ke Ayun. Kak Hilman kangen kakak. Kemarin keliatan bahagia. Sekarang kakak malah melamun.” ucapnya sambil ngeloyor pergi gitu aja ke kamar mandi.
Masya Allah, apa yang ku dengar dari Harun membuatku terduduk lemas. Aku sampai tak melihat Harun kembali lagi ke kamarnya. Antara bahagia mendengar Harun cerita banyak hari ini, karena biasanya hanya mengucap sepatah dua kata saja, tak pernah banyak. Aku merasakan pahit begitu mengingat apa yang terjadi tadi pagi di rumah sakit. Bahagia dan rasa pahit datang bersamaan. Itu membuatku seperti tak punya tulang.
*****
Air mataku tak sadar telah mengalir deras. Bagaimana bisa Hilman melalui hari ini dengan benar, jika aku saja yang mendengar ini merasa hancur? Hilman, dimana kamu saat ini? Seharian ini hapemu mati. Kamu dimana, sedang apa, sama siapa? Kau tak biasa mengungkapkan luka hatimu pada siapapun. Meski itu denganku.
Kau tak pernah membiarkan hatimu berbagi kesedihan denganku. Kau tak pernah membiarkanku bersedih dan makin sedih. Tapi kau membiarkan diri dan hatimu hancur lebur sendirian. Hilman, aku pilih kamu. Bukan dia, dan bukan siapa-siapa. Berikan aku kabar. Aku berbicara sendiri dalam hati sambil memandang bulan purnama yang seolah berada tepat di atas Pohon Sono di seberang jalan gang. Hilman, aku sayang kamu. Aktifkan hapemu, aku ingin bicara. Please... jawab aku.
Ya Allah, jaga dan lindungi dia untukku. Melebihi ia menjagaku selama ini. Laki-laki itu telah tulus mencintaiku meski ia tahu semua tentang aku. Meski ia tahu tubuh ini pernah dimiliki orang lain, pernah dijamah lelaki lain dan telah menjadi lampiasan nafsu yang lain. Dia masih tetap menjagaku meski ia tak mampu menguasai hatinya melihat lelaki itu muncul kembali.
Dan mungkin, ia makin terluka andai tahu Mas Andipun menyukaiku sejak lama, ia tak kan bisa menerima perasaannya sendiri ketika menyaksikan dan mendengar Bagas melamarku di depan papanya. Tuhan, jagakan dia untukku, karena apa yang sudah ia lakukan selama ini, tak kan pernah bisa ku balas dengan apa-apa, kecuali cinta.






“Cara terbaik untukku dapat menghadapi masa lalu adalah dengan menghadapinya, berdiri tegak, langkahkan kaki ke depan menyambut masa depan dan memperjuangkannya demi cinta.”
Zerdali.














  10            Selamat Tinggal Cinta

POV. Hilman
Aku sedang rebahan diatas atap bangunan yang lama telah jadi tempat singgahku beberapa tahun ini. Keputusanku untuk kos setelah lulus SMA sudah tepat. Aku tak mau lama-lama merepotkan pak dhe. Saatnya mandiri dalam segala hal. Aku bersyukur, di tempat ini ada tempat khusus untukku berfikir, atau bahkan tempat terindah ketika sedang sedih. Dan kebetulan, tak ada seorangpun yang berada disini di malam hari.
Bulan purnama diatas sana terlihat jelas di mataku. Sungguh, aku ingin menangis. Tapi aku lelaki, harus kuat. Aku tak mungkin menangis karena urusan hati, meski itu sakit. Aku ingin tahu dimana ada lelaki yang menangis karena cinta. Yang aku tahu, lelaki pemikir, bukan perasa. Dan seharusnya rasa sedih itu tak ada. Dan harus hilang. Entahlah, ini sekedar ego, ataukah aku berubah jadi lelaki yang sok kuat.
Cincin ini seharusnya untukmu, Re. Tapi sepertinya aku harus menyimpannya. Aku tak akan membuangnya. Bukan karena sayang dengan harga yang tak seberapa dibandingkan dengan harga cincin yang telah kau terima. Tapi karena aku sudah tak mungkin lagi memilikimu. Ku juga tak mungkin mendekatimu lagi seperti dulu, meski hanya sebagai teman biasa. Maka cincin ini yang akan menemaniku dimanapun aku berada. Cincin ini juga akan menjadi wakil hatimu untukku. Mulai hari ini, cincin ini akan terus bersamaku. Tanpa kamu di disisiku. Akan ku jadikan gandul[18] tasbihku. Karena ia tak kan lepas dari lenganku. Sepertimu, yang sebentar lagi tak kan jadi milikku. 
Re, maaf. Hari ini aku tanpa kabar. Aku tahu kau pasti mencemaskanku. Aku tahu kau mungkin akan lebih memilihku ketimbang pria itu. Aku juga tahu kalau kau juga merasakan hal yang sama seperti perasaanku padamu.
Tapi aku tak bisa egois. Masa lalumu adalah jawaban semuanya. Kau dan dia dulu pernah bersama, pernah saling mencintai dan saling memiliki. Dia telah berubah menjadi laki-laki yang baik dan masih mencintaimu. Dia sudah mapan, telah memiliki rumah sendiri, gagah dan tampan, terlebih bapaknya juga menyukaimu. Dan mungkin tidak dengan ibuku. Keluargaku sungguh rumit. Hingga adikku menjadi korban karenanya. Jujur aku jadi lelaki yang minder melihat Bagas dan keluarganya, meski di mataku, ia tetap pria brengsek.
Re, jemblemku. Aku sekarang sedang tersenyum. Mungkin kau lebih bahagia dengannya, bukan denganku. Dan mungkin dia lebih mencintaimu. Karena aku hanya bisa merelakan kamu bahagia dengannya. Satu sisi, dia juga harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia harus membayar semua rasa sakit di masa lalu dengan cara membahagiakan dan mencukupi seluruh kebutuhanmu. Kamu akan jadi tuan puteri dari kerajaannya. Kau akan menjadi wanita tercantik yang pernah ku kenal. Wanita hebat dan kan selalu jadi ratu terhebat. Dan itu akan terjadi jika kau menjadi istrinya. Bukan istriku.
Ya Allah, aku cemburu. Sungguh aku cemburu. Rasa ini menyesakkan dadaku. Aku yakin dia akan bahagia bersama lelaki itu. Aku sempat melihat ketulusan dan cinta yang besar untuk Aretha sebelum kupukul waktu itu. Kata-kata terakhir sebelum aku memukul dia hingga terjatuh sungguh membuatku tak mampu menguasai amarahku saat itu.
Ya, saat itu aku bertemu dengannya di gang dekat rumahmu dan menanyakan dimana kamu tinggal.
“Maaf, mas. Apa mas tahu dimana rumah Rere? Saya hanya tahu bahwa rumahnya masuk melewati gang ini.”
“Masnya siapa?”
“Saya Bagas, temannya. Mas kenal Aretha?”
“Kenal sekali, bahkan aku juga mengenalmu. Mau apa kau mencarinya?”
“Mas ini siapa kalau boleh tahu?”
“Saya Hilman.” ku tampakkan wajah penuh amarah karena sungguh aku benar-benar ingin menghajarnya.
“Oh, Hilman. Kenalkan, saya Bagas.”
“Tidak perlu. Katakan mau apa kamu mencari Rere?”
“Aku telah menghancurkan hidupnya. Untuk itu aku ingin menemuinya dan melamarnya. Aku akan membahagiakan dia. Karena akulah masa depannya kini.”
Sombong sekali. Pede banget dia bilang masa depan Rere. Mungkin dia lupa bahwa dia juga jadi bagian masa lalunya yang buruk. Seketika itu aku tak kuasa membendung emosiku.
“Jangan pernah berharap kau akan jadi masa depannya. Aku tak akan pernah membiarkanmu menyakitinya lagi. Kalau begitu, ini pukulan untuk Rere buatmu di masa lalunya.”
Buuugg...!!
 Yang kemudian, aku meninggalkan dia begitu saja. Tanpa tahu bahwa ia terjatuh dan kepalanya membentur batu paving. Jika dia mau, bisa saja dia menjebloskanku ke penjara. Tapi itu tak dilakukan karena tahu mungkin Rere akan makin membencinya. Dia melakukannya, karena Rere, bukan karena aku.
Sampai malam itu aku masih percaya diri bahwa Rere akan lebih memilihku. Karena aku telah yakin, hatinya telah menjadi milikku. Tapi begitu aku melihat apa yang terjadi di rumah sakit saat itu, keyakinanku luruh dan habis. Karena kebahagiaan sebuah rumah tangga adalah restu orang tua yang menyayangi anak dan menantunya. Tapi tidak dengan keluargaku. Rere akan lebih menderita hidup denganku ketimbang dengan Bagas.
Rere hanya belum mengenal ibu dan juga bapakku. Jangankan Rere kelak, anak perempuannya sendiripun sampai menjadi korban akibat keangkuhan dan ego ibu. Lalu bagaimana dengan Harun? Yang jelas, ia tak akan diterima di keluargaku. Cukupkah Harun mendapatkan pengakuan dariku saja tanpa pengakuan dari orang tuaku? Harun juga berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan Bagas. Bukan denganku.
Dan tiba-tiba seseorang mengejutkanku.
“Mas, kenapa disini? Sudah jam 12 malam. Tidurlah.” Adikku tiba-tiba sudah di sebelahku.
“Putri, kenapa kamu bisa disini?” tanyaku.
“Tadi putri nyari-nyari mas. Sampe keluar kosan ga ada, tapi motor mas ada. Mungkin mas disini. Mas Yatno yang bilang. Mas sering disini kalo sedih. Mas sedih karena mikirin Putri? Maafkan putri, mas. Waktu itu putri marah karena merasa diatur-atur sama mas.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Mas ga apa-apa.”
“Mas jangan bohong. Tak ada seorangpun yang mengenal mas kecuali Putri.” Protesnya.
“Kadang Putri iri sama mas. Mas bisa hidup jauh dari rumah di kota ini bersama pak dhe yang sayang sama mas. Sedang Putri? Putri Cuma jadi alat ibu di kampung. Dan akhirnya, Putri juga yang jadi korbannya. Apa ibu tahu? Apa bapak membela Putri? Putri malah dipasung mas. Cuma mas yang ngerti Putri. Meski ga ada jalan lain selain mengirim Putri ke rumah sakit jiwa. Apa ibu tahu gimana rasanya dijadikan sampah masyarakat? Kotoran? Tak diterima dan diusir dari desa. Sudah diperkosa pemuda tak bertanggung jawab pilihan ibu, diusir pula dari kampung. Mas, apa mereka tahu bagaimana menjadi aku? Mereka tidak tahu gimana rasanya dipasung. Mereka ga tahu rasanya hidup beberapa tahun di rumah sakit jiwa. Sakit mas. Andai kakak ga rutin jenguk Putri, mungkin Putri ga akan sembuh. Mas pikir, Putri ga tahu kalau mas nangis di belakang Putri saat itu? Waktu itu kondisi Putri lebih baik. Tapi Putri ga mau ngasih tahu mas karena Putri ingin ngasih kejutan ke mas. Mas jangan nangis lagi. Jangan sedih lagi. Maafkan putri. Putri janji, Putri akan bahagia apapun yang akan Putri hadapi nanti. Demi mas.”
Kamipun menangis dan berpelukan. Tak terasa air mata ini meleleh melihat adikku menangis sesenggukan.
Aku kira aku akan kuat menghadapi masa lalu dua wanita yang ku cintai ini. Ternyata, aku tak bisa. Aku tak sekuat yang ku kira. Hatiku hancur, dan tak ada yang memahami ini. Aku merasa, mentariku tak bersinar lagi. Tidak untukku, ataupun masa depanku. Dan aku sudah memutuskan. Aku akan pulang ke kampung tuk menjaga Putri. Tak akan mudah baginya kembali ke kampung dengan masa lalu yang harusnya terbuang. Tapi tak semudah itu. Masyarakat tak kan semudah itu menerima masa lalu Putri. Aku juga akan menjaganya agar tak menjadi alat ibu lagi tuk mencari keuntungan sendiri. Ku rasa, tak ada satupun wanita di dunia ini yang tak memiliki cinta untuk anaknya. Aku tahu ibu masih memilikinya.
Dan untuk Rere, aku akan merelakanmu dengannya. Karena aku yakin engkau kan lebih bahagia bersamanya. Kau kan mengalami kesulitan hidup jika kau menikah denganku. Kau tak kan mampu menghadapi ibuku. Biar engkau tenang dan bahagia disini. Agar kelak kau bisa menjadi ibu yang baik dan bijak. Waktu yang akan menghapus namaku dari hatimu.
Maafkan aku, Re. Aku harus membuat pilihan. Aku kan menjaga hati adikku. Dan aku juga berusaha agar hatimu tak tersakiti lagi. bagaimana bisa aku menjaga hatimu, jika aku tak mampu menjaga hati adik ku? Bagaimana aku bisa menjadi harapan untuk Harun, jika aku sendiri tak mampu memberikan harapan untuk Putri? Dan bagaimana kita bisa membentuk sakinah mawaddah warrahmah jika ibuku tak akan suka melihatmu? Lebih-lebih, kau akan membawa Harun bersamamu. Karena ia hanya mau menerima menantu kaya.
Biarlah hatiku tetap begini. Ada namamu dalam cincin ini. Biar aku hidup bersama kenanganku denganmu. Cinta ini tak akan berakhir. Tapi kebahagiaanmu bisa saja berakhir buruk di tanganku. Dan biar takdir kita berhenti sampai disini. Karena bahagiamu, tak tertulis dalam takdirku. Setidaknya, kau bersama lelaki yang tepat kini. Bukannya aku menyerah dan tak mau memperjuangkan perasaan ini yang terlanjur amat berat. Aku akan gantikan perasaan yang berat ini dengan Asma Allah. Selamat tinggal, Re. Aku sayang kamu. Dan hanya kamu wanita terbaik yang pernah mengisi waktu dan rinduku. Jika engkau jodohku, maka Allah akan mendekatkan kita kembali. Bismillah...




 Bersambung...










[1] Jemblem, sejenis makanan tradisional yang terbuat dari singkong berbentuk bulat dengan gula jawa di tengahnya.
[2] di
[3] Dipan adalah sebuah bangku panjang yang rendah, yang mirip dengan sofa, untuk duduk-duduk atau berbaring sebagai alas kasur atau tempat tidur. Kata dipan diserap dari bahasa Belanda, divan, yang berasal dari bahasa Parsi, devan.
[4] Dalam kamus Oxford, tantrum diartikan sebagai outburst of bad temper, esp by a child. Secara umum, tantrum merupakan ledakan atau luapan kemarahan yang biasanya dilakukan oleh anak. Tantrum bukan hanya dialami oleh anak autis saja namun dialami juga oleh hampir semua anak. Namun untuk anak normal, mereka masih dapat mengontrol emosi dan sikapnya pada saat dalam kondisi tantrum dan lebih mudah untuk diberikan pengertian dibandingkan anak dengan anak autis sehingga menangani tantrum anak autis bisa lebih sulit.
[5] Aku juga ada hadiah untuk kamu loh, Mblem.
[6] Coba buka saja
[7] petasan
[8] Dih, menjijikkan
[9] Aku Tenang – Fourtwnty
[10] Menggambar, bahasa Sidoarjo.
[11] Gitu
[12] menggantikan
[13] Di Amerika Serikat seorang loper koran yang disebut paperboy biasa digambarnya di film dan televisi sebagai remaja lelaki dan seringkali memakai sepeda.
[14] Bodoh, dungu, aneh, nyeleneh
[15] mabuk
[16] Marah besar, ngamuk
[17] Terus menerus, tak terputus

[18] benda yang berfungsi sebagai pemberat; bandul, Kamus Besar Bahasa Indonesia


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh PTK Bab 4

Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Bhs. Inggris kelas 1

Yang Harus Diperhatikan dalam Menulis Cerpen (Untuk Pemula)